Total Visitors

My Status

Follower

Disiplin Kerja

Disiplin kerja dibicarakan dalam kondisi yang sering kali timbul bersifat negatif. Disiplin lebih dikaitkan dengan sangsi atau hukuman. Contohnya: bagi karyawan bank, keterlambatan masuk kerja (bahkan dalam satu menit pun) berarti pemotongan gaji yang disepadankan dengan tidak masuk kerja pada hari itu. Bagi pengendara sepeda motor, tidak mengunakan helm berarti bersiap-siap ditilang polisi.

Disiplin dalam arti yang positif seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut ini. Hodges (dalam yuspratiwi, 1990) mengatakan bahwa disiplin dapat diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah diterapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pengertian disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan karyawan terhadap peraturan organisasi.

Niat untuk mentaati peraturan menurut Suryohadiprojo (1989) merupakan suatu kesadaran bahwa tanpa disadari unsur ketaatan, tujuan organisasi tindakan tercapai. Hal itu berarti bahwa sikap dan perilaku didorong adanya kontrol diri yang kuat. Artinya, sikap dan perilaku untuk mentaati peraturan organisasi muncul dari dalam dirinya.

Niat juga dapat diartikan sebagai keinginan untuk berbuat sesuatu atau kemauan untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan. Sikap dan perilaku dalam disiplin kerja ditandai oleh berbagai inisiatif, dan kehendak untuk mentaati peraturan. Artinya, orang yang dikatakan mempunyai disiplin yang tinggi tidak semata-mata patuh dan taat terhadap peraturan secara kaku dan mati, tetapi juga mempunyai kehendak (niat) untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan organisasi.

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, sebelum masuk dalam sebuah organisasi, seorang karyawan tentu mempunyai aturan, nilai, norma sendiri, yang merupakan proses sosialisasi dari keluarga atau masyarakatnya. Seringkali terjadi aturan, nilai dan norma diri tidak sesuai dengan aturan-aturan organisasi yang ada. Hal ini menimbulkan konflik sehingga orang mudah tegang, marah, atau tersinggung apabila orang terlalu menjunjung tinggi salah satu aturannya.

Misalnya, amir adalah orang yang selalu tepat waktu sementara itu iklim di organisasi kurang menjunjung tinggi penghargaan terhadap waktu. Jika amir memegang teguh prinsip-prinsipnya sendiri, ia akan tersisih dari teman sekerjanya. Ia sebaliknya, jika ikut arus, tetapi juga tidak kaku. Ia jika perlu mempelopori kepatuhan terhadap waktu kepada teman sejawatnya.

Berdasarkan pemahaman diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku yang berniat untuk mentaati segala peraturan organisasi yang didasari atas kesadaran diri untuk menyesuaikan dengan peraturan organisasi.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik indikator-indikator disiplin kerja sebagai berikut (a) disiplin kerja tidak semata-mata patuh dan taat terhadap penggunaan jam kerja saja, misalnya datang dan pulang sesuai jadwal, tidak mangkir jika bekerja, dan tidak mencuri-curi waktu; (b) upaya dalam mentaati peraturan tidak didasarkan adanya perasaan takut, atau terpaksa; (c) komitmen dan loyal pada organisasi yaitu tercermin dari berbagai sikap dalam bekerja. Apakah karyawan dalam bekerja tidak pernah mengeluh, tidak berpura-pura sakit, tidak manja, dan bekerja dengan semangat tinggi? Sebaliknya, perilaku yang sering menunjukkan ketidakdisiplinan atau melanggar peraturan terlihat dari tingkat absensi yang tinggi, penyalahgunaan waktu istirahat dan makan siang, meninggalkan pekerjaan tanpa ijin, membangkang, tidak jujur, berjudi, berkelahi, berpura-pura sakit, sikap manja berlebihan, merokok pada waktu terlarang dan perilaku yang menunjukkan kerja yang rendah.

Daftar Pustaka:
Helmi, Avin Fadilla. Disiplin Kerja. Buletin Psikologi, Tahun IV, Nomor 2, Desember 1996.

Repost: Zona Ilmu dan Arikel Psikologi Online
Category: 1 komentar

Semangat Kerja

Pengertian semangat kerja menurut Nitisemito (1992), semangat dan gairah kerja sulit untuk dipisah-pisahkan meski semangat kerja memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap semangat kerja. Dengan meningkatnya semangat dan gairah kerja, maka pekerjaan akan lebih cepat diselesaikan dan semua pengaruh buruk dari menurunnya semangat kerja seperti absensi dan selanjutnya akan dapat diperkecil dan selanjutnya menaikkan semangat dan gairah kerja yang berarti diharapkan juga meningkatkan produktivitas karyawan.

Semangat kerja dapat diartikan sebagai semacam pernyataan ringkas dari kekuatan-kekuatan psikologis yang beraneka ragam yang menekan sehubungan dengan pekerjaan mereka. Semangat kerja dapat diartikan juga sebagai suatu iklim atau suasana kerja yang terdapat di dalam suatu organisasi yang menunjukkan rasa kegairahan di dalam melaksanakan pekerjaan dan mendorong mereka untuk bekerja secara lebih baik dan lebih produktif.

Determinan Semangat Kerja

Zainun (1991) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan munculnya semangat kerja. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah
1. Hubungan yang harmonis antara pimpinan dengan bawahan terutama antara pimpinan kerja sehari-hari langsung berhubungan dan berhadapan dengan para bawahan.
2. Kepuasan para petugas terhadap tugas dan pekerjaannya karena memperoleh tugas yang disukai sepenuhnya.
3. Terdapat satu suasana dan iklim kerja yang yang bersahabat dengan anggota organisasi, apabila dengan mereka yang sehari-hari banyak berhubungan dengan pekerjaan.
4. Rasa pemanfaatan bagi tercapainya tujuan organisasi yang juga merupakan tujuan bersama mereka yang harus diwujudkan secara bersama-sama pula.
5. Adanya tingkat kepuasan ekonomis dan kepuasan nilai lainnya yang memadai sebagai imbalan yang dirasakan adil terhadap jarih payah yang telah diberikan kepada organisasi.
6. Adanya ketenangan jiwa, jaminan kepastian serta perlindungan terhadap segala sesuatu yang dapat membahayakan diri pribadi dan karier dalam perjalanan

Menurut Nawawi (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya semangat kerja adalah
1. Minat seseorang terhadap pekerjaan yang dilakukan. Seseorang yang berminat dalam pekerjaannya akan dapat meningkatkan semangat kerja
2. Faktor gaji atau upah tinggi akan meningkatkan semangat kerja seseorang
3. Status sosial pekerjaan. Pekerjaan yang memiliki status sosial yang tinggi dan memberi posisi yang tinggi dapat menjadi faktor penentu meningkatnya semangat kerja
4. Suasana kerja dan hubungan dalam pekerjaan. Penerimaan dan penghargaan dapat meningkatkan semangat kerja
5. Tujuan pekerjaan. Tujuan yang mulia dapat mendorong semangat kerja seseorang

Menurut Nitisemito (1992), ada beberapa cara untuk meningkatkan semangat kerja karyawan. Caranya dapat bersifat materi maupun non materi, seperti antara lain :
1. Gaji yang sesuai dengan pekerjaan
2. Memperhatikan kebutuhan rohani
3. Sekali-kali perlu menciptakan suasana kerja yang santai yang dapat mengurangi beban kerja
4. Harga diri karyawan perlu mendapatkan perhatian
5. Tempatkan para karyawan pada posisi yang tepat
6. Berikan kesempatan pada mereka yang berprestasi
7. Perasaan aman menghadapi masa depan perlu diperhatikan
8. Usahakan para karyawan memiliki loyalitas dan keperdulian terhadap organisasi
9. Sekali-kali para karyawan perlu diajak berunding untuk membahas kepentingan bersama
10. Pemberian insentif yang terarah dalam aturan yang jelas
11. Fasilitas kerja yang menyenangkan yang dapat membangkitkan gairah kerja

Menurut Nitisemito (1992), faktor-faktor untuk mengukur semangat kerja adalah :
1. Absensi karena absensi menunjukkan ketidakhadiran karyawan dalam tugasnya. Hal ini termasuk waktu yang hilang karena sakit, kecelakaan, dan pergi meninggalkan pekerjaan karena alasan pribadi tanpa diberi wewenang. Yang tidak diperhitungkan sebagai absensi adalah diberhentikan untuk sementara, tidak ada pekerjaan, cuti yang sah, atau periode libur, dan pemberhentian kerja.
2. Kerja sama dalam bentuk tindakan kolektif seseorang terhadap orang lain. Kerjasama dapat dilihat dari kesediaan karyawan untuk bekerja sama dengan rekan kerja atau dengan atasan mereka berdasarkan untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu, kerjasama dapat dilihat dari kesediaan untuk saling membantu di antara rekan sekerja sehubungan dengan tugas-tugasnya dan terlihat keaktifan dalam kegiatan organisasi.
3. Kepuasan kerja sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaan mereka.
4. Kedisiplinan sebagai suatu sikap dan tingkah laku yang sesuai peraturan organisasi dalam bentuk tertulis maupun tidak. Dalam prakteknya bila suatu organisasi telah mengupayakan sebagian besar dari peraturan-peraturan yang ditaati oleh sebagian besar karyawan, maka kedisiplinan telah dapat ditegakkan.


Daftar Pustaka
Darmawan, Didit. Variabel Semangat Kerja dan Indikator Pengukurannya. Surabaya: STIE Mahardhika

Repost : Zona Ilmu dan Artikel Psikologi (http://www.psikologizone.com/definisi-teori-semangat-kerja)
Category: 0 komentar

Fobia

Pengertian fobia menurut para psikopatolog adalah sebagai penolakan yang menggangu, diperantarai rasa takut yang tidak proposional dengan bahaya yang dikandung oleh objek atau situasi tertentu da diakui oleh penderita sebagai sesuatu yang tidak mendasar. Dengan kata lain, fobia adalah ketakutan terhadap suatu situasi atau obyek yang jelas (dari luar individu itu sendiri), yang sebenarnya pada saat kejadian tidak membahayakan.

Berdasarkan DSM-IV-TR gejala dari fobia adalah (1) Ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipicu oleh objek atau situasi; (2) Keterpaparan dengan pemicu menyebabkan kecemasan intens; (3) Orang tersebut menyadari ketakutannya tidak realistis; (4) Objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan intens.

Beberapa istilah yang paling dikenal adalah claustrophobia, yaitu ketakutan pada ruang tertutup. Agoraphobia, adalah ketakutan pada tempat umum. Acrophobia, adalah ketakutan pada ketinggian. Animal phobia, adalah ketakutan pada jenis binatang tertentu. Blood phobia, adalah ketakutan pada darah.

Banyak penderita tertentu yang tidak membuat mereka cukup terdesak untuk mencari bantuan penanganan. Sebagai contoh, jika seseorang yang memiliki ketakutan yang sangat besar pada ular, ia tinggal di daerah metropolitan, kecil kemungkinan ia mengalami kontak langsung dengan objek yang ditakuti sehingga tidak percaya ada yang salah dengan dirinya. Pada kebanyakan kasus, fobia banyak dialami oleh wanita dibandingkan dengan pria. Fobia sendiri dibagi menjadi dua macam kategori yaitu fobia spesifik dan fobia sosial.

Fobia Spesifik

Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik. Lebih ringkasnya fobia ini disebabkan oleh obyek atau situasi spesifik. DSM-IV-TR membagi fobia berdasarkan sumber ketakutannya: darah, cedera, dan penyuntikan, situasi (seperti pesawat terbang, lift, ruang tertutup), binatang, dan lingkungan alami (seperti ketinggian, air)

Fobia Sosial

Fobia sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan dengan keberadaan orang lain. individu yang mengalami fobia sosial biasanya menghindari situasi yang membuat dia merasa dievaluasi, mengalami kecemasan, atau melakukan perilaku yang tidak seharusnya.

Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat berlebihan atau memerahnya wajah merupakan dampak yang tampak. Berbicara atau melakukan sesuatu di depan publik, makan di tempat umum, menggunakan toilet umum, atau hampir semua aktifitas lain yang dilakukan di tempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan kecemasan ekstrim pada penderita fobia sosial.

Orang yang menderita fobia sosial banyak yang memiliki profesi atau pekerjaan yang jauh di bawah kemampuan atau kecerdasan mereka karena sensifitas sosial yang ektrim mereka alami. Lebih baik mengerjakan pekerjaan yang bergaji rendah dari pada setiap hari berhadapan dengan orang lain dalam pekerjaan yang lebih tinggi.

Penanganan Penderita Fobia

Dalam penanganan penderita fobia, penderita tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri sehingga haruslah dibantu oleh terapis yang kompeten dibidangnya. Banyak sekali terapi yang dapat dilakukan. Berikut adalah beberapa pendekatan terapi yang bisa dilakukan. Pendekatan Psikoanalisa yaitu dengan dua cara (1) pengungkapan kecemasan yang direpresi; (2) Penyelesaian konflik masa kanak-kanak. Pendekatan Behavioral yaitu (1) Systematic desensitization, yaitu individu yang menderita fobia membayangkan serangkaian situasi yang semakin menakutkan sementara ia berada dalam kondisi rileks; (2) Flooding, yaitu teknik terapeutik dimana klien dipaparkan dengan sumber fobia dalam intensitas penuh; (3) Modelling, yaitu teknik lain yang menggunakan pemaparan terhadap berbagai situasi yang ditakuti. Pendekatan Kognitif yaitu Eliminasi irational belief, dengan cara menghapuskan pemikiran yang irasional. Pendekatan Biologis yaitu dengan menggunakan obat-obatan seperti sedative, transquilizer, dan anxyolitic.
Daftar Pustaka
Davison, Gerald C, Neale, John M, Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Category: 0 komentar

Terjemahan Jurnal Psikologi Sosial

Jika Anda Tidak Dapat Bergabung dengan Mereka, Tembak Mereka: Pengaruh dari Pengeluaran Sosial pada Perilaku Agresif

Beberapa tahun yang lalu, sebuah rangkaian dari penembakan di sekolah-sekolah Amerika telah mempertunjukkan bahwa orang-orang muda yang merasakan pengeluaran sosial kadang-kadang terasa kasar sekali. Pada kenyataannya, suatu penyelidikan hati-hati dari rentetan kecelakaan penembakan sekolah bahwa hampir semua dari pelaku mengalami penolakan dan/ atau penggertakkan oleh kawan sebaya (Leary, Kowalski, Smith, & Philips, 2001). Peristiwa gambaran yang hidup ini dengan dengan teliti mencerminkan sekali lagi contoh umum yang menghubungkan pengeluaran sosial dengan perilaku agresif. Garbarino (1999) menemukan bahwa banyak pelaku dari kekerasan adalah laki-laki muda yang merasakan penolakan oleh anggota keluarga, teman sebaya, dan masyarakat pada umumnya. Ilmuan Psikologi Perkembangan telah mempertunjukkan bahwa anak-anak agresif memiliki lebih sedikit teman-teman dan menerima sedikit sambutan dati kelompok teman sebaya(Coie, 1990; Newcomb, Bukowski, & Pattee, 1993). Orang dewasa mempertunjukkan contoh ini sebagai kebaikan. Laki-laki sendiri melakukan lebih banyak perbuatan kriminal dari pada yang menikah, sama ketika usia telah terkontrol (Sampson & Laub, 1990, 1993). Setelah paling sedikit satu hubungan tetap (suatu pernikahan) nampaknya menekan pelanggaran perilaku kriminal.
Suatu hubungan mungkin di antara pengeluaran sosial dan agresi mungkin penting untuk dimengerti perubahan baru-baru ini dalam sosial warga Amerika. 35 tahun yang lalu telah terlihat pertambahan sejajar dalam tingkat kejahatan, kekerasan, dan perilaku antisosial, pada satu sisi, dan tingkat perceraian, kehidupan sendiri, dan tanda-tanda dari perpecahan yang lainnya, pada yang lain (U.S. Bureau of the Cencus, 1998; see Twenge, 2000, in press, for discussion). Beberapa penulis memperdebatkan bahwa perubahan ini telah memimpin pada kehidupan sosial yang hubungan orang-orang tak punya dan merasa tidak terhubung dari orang lain. Putnam (1995, 2000) menemukan bahwa orang-orang Amerika sekarang lebih sedikit mungkin untuk ikutserta komunitas organisasi dan mengunjungi teman-teman dari pada mereka melalui sepintas. Perbandingan dari populasi yang hidup sendiri telah hampir dua kali lipat dalam dekade-dekade baru ini., dari 13% pada 1960 menjadi 25% pada 1997 (U.S Bureau of the Ceasus, 1998). Pada langkah terhadap kenaikan pasang surut dari kesendirian ini, kejahatan kekerasan telah melambung tinggi, kejahatan sifat mengalami kenaikan, dan orang-orang percaya dan membantu setiap lebih sedikit dari pada yang mereka alami (Fukuyama, 1999). Pada kenyataannya, Lester (1994) menyelenggarakan sebuah analisis waktu bersamaan dan menemukan bahwa statistik mengukur integrasi sosial (misalnya perceraian, pernikahan, dan tingkat kelahiran) menunjukkan suatu korelasi yang hampir sempurna dengan tingkat pembunuhan. Kesehatan mental profesional, pendidik, pembuat kebijakan, kantor penyelenggara hukum, dan lainnya yang harus sepakat terhadap masalah-masalah sosial mungkin menemukan ini berguna untuk tahu apakah suatu kehilangan dari ikatan sosial memimpin dengan langsung untuk agresif dan perilaku antisosial.
Menghalangi Kebutuhan untuk Memiliki
Para pekerja saat ini mendasarkan pada anggapan bahwa manusia menjadi kuat dan sangat mendorong untuk kondisi tetap, hubungan tetap dengan orang lain. Pada dasar-dasar dari tinjauan bahan bacaan seorang wanita, Baumeister dan Leary (1995) menyimpulkan bahwa banyak perilaku manusia adalah dorongan oleh “kebutuhan kepemilikan”. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa kebutuhan untuk memiliki adalah akar dalam sejarah evolusi dari sejarah manusia. Pengeluaran sosial mungkin telah menghambat keberhasilan reproduksi dan seringkali pasti mematikan hak untuk kekurangan dari berbagi makanan, kesulitan dari berburu sendiri, dan perlindungan tidak cukup dari binatang dan musuh manusia (e.g., Amsworth, 1989; Axelrod & Hamilton, 1981; Barash, 1977; Bowlby, 1969; Buss, 1990, 1991; Hogan, Jones, & Check, 1985; Moreland. 1987). Pengeluaran sosial biasanya mudah untuk pengalaman-pengalaman emosi negatif sebagai kegelisahan, depresi, kesepian, dan perasaan dari isolasi (Baumeister & Leary, 1995; Baumeister & Tice, 1990; Gardner, Gabriel, & Diekman, 2000; gardner, Pickett, & Biewer, 2000; Leary, 1990; Leary & Downs. 1995: Williams, Cheung, & Choi. 2000).

Penelitian Sekarang
Kami menyelenggarakan suatu rangkaian dari studi percobaan untuk menguji hipotesis bahwa pengeluaran sosial dan penolakan penyebab perilaku untuk menjadi lebih agresif.dalam pembelajaran ini, pertama memainkan persepsi orang-orang dari penerimaan melawan penolakan. Dalam tiga pembelajaran, penyertaan ini memberikan orang-orang umpan balik tentang kemungkinan hubungan masa depan mereka, dengan pura-pura pada dasar dari suatu tes kepribadian. Beberapa telah memberitahukan bahwa mereka akan mungkin mengakhiri kesendirian untuk banyak dari kehidupan dewasa mereka (tak seperti yang lain, yang memberitahukan bahwa masa depan mereka akan disertai suatu jaringan yang beraneka ragam dari hubungan-hubungan pribadi). Dalam dua pembelajaran lainnya kami memainkan penolakan sosial lebih secara langsung dengan memberitahukan peserta bahwa salah satu di dalam kelompok atau setiap orang telah memilih mereka sebagai suatu pasangan yang diinginkan untuk suatu tugas kerja sama. Setelah memanipulasi, kami mengukur agresi dalam dua jalan yang berbeda: memberi seseorang suatu evaluasi negatif yang merusak (percobaan 1-3) atau mengatur ledakan dari keseganan, kegaduhan penuh tekanan (percobaan 4 dan 5). Kami juga mencoba untuk menengahi dengan pengaruh negatif penggunaan dua perbedaan yang mempengaruhi tindakan-tindakan.
Percobaan 1
Percobaan 1 menyediakan suatu tes langsung dari hpotesis bahwa pengeluaran sosial memimpin untuk perilaku agresif. Para peserta pertama telah memberi umpan balik palsu pada suatu tes kepribadian. Dalam kondisi gawat ( kondisi kesendirian di masa depan), umpan balik ini menyediakan dasar dari menduga bahwa orang akan mengakhiri kesendirian dalam hidup. Kelompok perbandingan telah memberi tahu bahwa profil kepribadian mereka menandai suatu masa depan dengan jaringan yang beranekaragam dan kuat dari hubungan perseorangan (kondisi termasuk masa depan). Kami juga mencakup tiga kondisi pengawasan. Pertama (kondisi kemalangan) memberi orang-orang suatu ramalan dari suatu yang tidak menyenangkan tetapi tidak sendiri di masa depan. Para peserta telah memberitahu bahwa profil kepribadian mereka menduga suatu kehidupan dewasa yang akan disertai kecelakaan. Kedua dan ketiga kondisi pengawasan tidak disertai kemalangan apapun mengenai salah saru hubungan sosial di masa depan atau masa depan yang cenderung sering tertimpa bencana (pengawasan positif dan kondisi pengawasan negatif).
Kemudian, kebanyakan peserta telah memprovokasi dengan menerima suatu ancaman diri sendiri. Lebih tepatnya, mereka menerima umpan balik dengan pura-pura menulis dengan peserta yang lainnya bahwa menggambarkan tulisan dan opini mereka tidak memenuhi syarat, tidak teratur, dan tidak meyakinkan. Peserta dalam satu tambahan kelompok mengontrol (kelompok pengatur positif) menerima pujian dari pada kritik dari karangan mereka.
Kami mengukur Agresi dengan memperi pesera-peserta kesempatan untuk merusak kesempatan pribadi yang lain dari mendapatkan tugas yang diinginkan. Pengangkatan ini sebuah ukuran dari agresi karena evaluasi berpotensi untuk menghalangi kepribadian individu dan pencapaian karir, pembalasan hanya berarti kejahatan fisik. Tehnik yang serupa menggunakan evaluasi tugas relevan digunakan untuk mengukur agresi dalam banyak penelitian sebelumnya.
Percobaan 2
Penemuan-penemuan dari percobaan 1 menyediakan harapan kebenaran bahwa pengeluaran sosial menyebabkan kenaikan dalam perilaku agresif. Bagaimanapun, kepercayaan dan kemampuan generalisasi berkurang karena satu dari kelompok pengontrol (yang mana menerima bukan ramalan tentang masa depan tetapi yang mana menggambarkan dengan provokasi yang menghina) berlari dengan sendirinya dari yang lainnya, melanggar dasar-dasar dari tugas-tugas acak, kami merasa ini kebutuhan untuk memimpin suatu bagian replikasi dari percobaan 1.
Dalam percobaan ini, kami mencakup kelompok tersendiri masa depan dan sebuah kelompok pengontrol negatif, keduanya yang mana menerima evaluasi karangan negatif. Ini akan bahwa tanggapan agresif ditimbulkan oleh sesuatu yang lebih dari pada simpel dari pada penghinaan oleh target. Prediksi bahwa agresi akan lebih tinggi di antara orang-orang yang memberitahukan mereka akan mengakhiri kesindirian dalam hidup, seperti dibandingkan dengan peserta (pengatur) yang lainnya.
Percobaan 3
Percobaan 1 dan 2 menunjukkan bahwa pengeluaran sosial disebabkan suatu kenaikan yang besar dalam perilaku agresif setelah orang-orang menerima sebuah kritik yang tinggi evaluasi penghinaan. Suatu penghinaan, bagaimanapun, adalah suatu bentuk dari provokasi , jadi ini harus menjadi menghormati sebagai suatu yang berpotensi penting karena menyumbang ke agresi pada akhrinya. Meskipun kedua penelitian menyimpulkan bahwa pengeluaran sosial memimpin untuk tanggapan yang lebih kuat ke provokasi dari pada provokasi itu sendiri, agresi tak lebih sediki suatu tanggapan untuk provokasi bahwa datang dalam bentuk dari suatu penghinaan, evaluasi kritikan.
Akankah antisipasi kesendirian berakhir dalam hidup karena orang-orang menjadi lebih agresif sama jika mereka tidak terpengaruh? Percobaan 3 adalah teman untuk percobaan 1, mengikuti kesamaan pola dan tata cara kecuali bahwa peserta terbanyak menerima positif, evaluasi merayu lebih baik dari pada orang-orang negatif. (suatu kondisi ke empat mencoba untuk replikasi dampak dari kondisi masa depan sendiri dari percobaan 1 dan 2, terhadap peserta menjadi memberitahukan bahwa mereka akan mengharapkan untuk menjadi sendiri kemudiannya dalam kehidupan dan waktu itu menerima penghasutan penghinaan). Dalam tambahan, para peserta melengkapi suatu ukuran suasana hati setelah manipulasi pengeluaran sosial jadi bahwa kami menguji apakah kemalangan dan kondisi kesendirian di masa depan menghasilkan jumlah perbedaan atau mempengaruhi negatif, yang mana kekuatan menengahi dan membantu menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam menemukan agresi dalam percobaan 1. Jika kemalangan mengatur peserta-peserta tidak dengan emosi menderita sebagai peserta-peserta sendiri di masa depan, Kekuatan ini menjelaskan mengapa peserta-peserta sendiri masa depan lebih agresif.
Percobaan 4
Pertama, tiga percobaan menyediakan fakta-fakta bahwa pengeluaran sosial menyebabkan orang-orang menjadi dengan agresif membalas melawan seseorang yang menghina mereka. Bagaimanapun, beberapa keistimewaan dari pola penelitian itu kekuatannya terbatas dalam menggeneralisasi dan kurang percaya dalam kesimpulan akhir. Percobaan 4 menggambarkan untuk memperbaiki masalah-masalah itu dan menyediakan pemusatan fakta-fakta dengan menghasilkan perbedaan.
Pendugaan untuk percobaan 4 telah ditolak oleh kelompok yang menaikan kecenderungan agresif ke arah seseorang yang menghina peserta. Ini penting untuk dicatat bahwa sumber dari penghinaan (dan target dari agresi yang berikutnya) tidak satu dari orang-orang yang telah menyediakan penolakan sosial tetapi, malahan, seorang yang baru. Kami mengharapkan bahwa pola dari penolakan memimpin untuk respon agresif akan menjadi konsisten dengan penemuan-penemuan dari tiga percobaan pertama.
Percobaan 5
Penemuan-penemuan menampilkan demikian jauh menganjurkan bahwa pengeluaran sosial menyebabkan peningkatan dalam perilaku agresif tetapi pada sebagian besar ke arah seseorang yang menghina dan menghasut orang-orang. Kami tidak menemukan bahwa penolakan orang-orang menjadi bermusuhan dan agresif kearah seseorang yang memuji mereka. Pada kenyataannya, secara sosial mengeluarkan orang-orang tanggapan diam dengan positif) ke seseorang yang dianggap baik oleh mereka. Hasil ini menunjukkan bahwa pengeluaran sosial berdampak bagaimana orang-orang menanggapi untuk pujian sebagai lawan untuk mengkritik.
Diskusi Umum
Kami mulai dengan mempertimbangkan bahwa ada di sana masuk akal alasan-alasan secara teoritis untuk menduga bahwa pengeluaran sosial akan menyebabkan perilaku menjadi satu di antara dua dari lebih agresif atau kurang agresif. Penemuan dari pembelajaran ini dengan tetap menunjukkan bahwa pengeluaran menyebabkan agak lebih agresif dari pada kurang. Dalam percobaan-percobaan ini, peserta-peserta mengarahkan untuk suatu ramalan bahwa masa depan mereka akan kemungkinan besar disertai kekurangan dari hubungan-hubungan sosial atau suatu yang dekat dengan penolakan sosial, sebagai penolakan untuk suatu jenbis dari kondisi pengendalian dan perbandingan. Dalam empat sampai lima percobaan-percobaan, perilaku peserta-peserta menjadi lebih agresif sebagai suatu hasil dari pengeluaran sosial.
Emosi dan Motivasi
Apa berada di antara situasi yang dan tanggapan-tanggapan perilaku? Alasan kami menekankan emosi dan motivasi. Kami memiliki alasan bahwa dampak dari penolakan sosial menjadi penengah oleh salah satu distress emosional atau suatu penambahan motivasi untuk mendekati dengan yang lain. Tak ada hipotesis yang mendukung.
Emosi. Dalam kejelasan untuk kekuatan efek dari penolakan sosial pada perilaku, efek ini pada suasana hati dan distress emosional telah dengan konsisten lemah. Peserta-peserta kami tidak melaporkan kebanyakan distres dalam tanggapan untuk manipulasi kami. Di dalam beberapa eksperimen, dampak dari pengeluaran sosial pada suasana jiwa gagal untuk menjangkau signifikan. Percobaan-percobaan yang lain tidak menemukan dampak yang signifikan, tetapi mereka tujukan
Keterangan Akhir.
Suatu keanekaragaman dari fakta-fakta, dari pembatasan penelitian dari pola persahabatan di antara anak-anak ke statistik sosial yang paling luas, bagian-bagian ke arah korelasi di antara pengeluaran sosial dan agresi. Tetapi apa sebabnya? Banyak teori-teori menyimpulkan, masuk akal sekali, bahwa perilaku agresif memimpin untuk pengeluaran sosial, karena orang-orang tidak menyukai berhubungan dengan beberapa orang yang perilaku membahayakan dan mengacaukan. Penemuan-penemuan kami tidak membuktikan bahwa salah teori, tetapi mereka mendukung langsung sebaliknya dari hubungan sebab akibat. Pengeluaran dari kelompok dan hubungan sosial hanya tetap mendengar ramalan tentang kesendirian selama masa depan yang jauh kelihatan untuk menghasilkan kecenderungan yang kuat ke arah perilaku agresif.
Ini hal yang biasa untuk mengobservasi bahwa manusia adalah mahluk sosial. Penemuan sekarang menyoroti kedua-duanya tingkat dari sosial dan batasan ini. Aspek yang sangat sosial dari kealamian manusia adalah bukti oleh bagaimana orang-orang dengan kuat mempengaruhi dengan penolakan dan pengeluaran sosial. Suatu batasan telah ditandai, bagaimanapun juga oleh kenyataan bahwa orang-orang dalam penelitian kamu menanggapi untuk pengeluaran sosial dengan cepat menunda kebiasaan prososial mereka, orientasi tidak agresif, dengan pengecualian jika kamu terhasut. Jika kecerdasan, disesuaikan dengan baik, kesuksesan mahasiswa universitas dapat merubah agresif dalam tanggapan untuk suatu laboratorium kecil pengalaman dari pengeluaran sosial, ini merusak gambaran kecenderungan agresif bahwa kekuatan bangun dari sekelompok dari penolakan penting atau pengeluaran terus-menerus dari keinginan kelompok dalam peran sosial kehidupan.

Perkembangan Anak-anak Akhir

A. Pengertian Perkembangan Anak-anak Akhir
Masa kanak-kanak akhir (late childhood) berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Pada awal dan akhir, masa kanak-kanak ditandai oleh kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian social anak.
Permulaan masa kanak-kanak akhir ditandai dengan masuknya anak ke kelas satu. Bagi sebagian besar anak, hal ini merupakan perubahan besar dalam pola kehidupanna. Masuk sekolah merupakan peristiwa penting bagi kehidupan setiap anak sehingga dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap, nilai dan perilaku.
Selama setahun atau dua tahun terakhir dari masa kanak-kanak terjadi perubahan fisik yang menonjol dan hal ini juga dapat mengakibatkan peubahan dalam sikap, nilai, dan prilaku dengan menjelang berakhirnya periode ini dan anak mempersiapkan diri, secara fisik dan psikologis, untuk memasuki masa remaja. Perubahan fisik yang terjadi menjelang berakhirnya masa kanak-kanak menimbulkan keadaan ketidakseimbangan di mana pola kehidupan yang sudah terbiasa menjadi terganggu dan anak selama beberapa saat merasa terganggu sampai tercapainya penyesuaian diri terhadap perubahan yang terjadi.
Tibanya masa kanak-kanak akhir dapat secara tepat diketahui, tetapi orang tidak dapat mengetahui secara tepat kapan periode ini berakhir, karena kematangan seksual merupakan criteria yang digunakan untuk memisahkan masa kanak-kanak dengan masa remaja yang timbulnya tidak selalu pada usia yang sama.
Penguasaan tugas-tugas perkembangan tidak lagi sepenuhnya tanggung jawab orang tua seperti tahun-tahun prasekolah. Sekarang penguasaan ini juga menjadi tanggung jawab guru-guru dan sebagian kecil juga menjadi tanggung jawab kelompok teman-teman. Misalnya, pengembangan berbagai keterampilan dasar seperti membaca, menulis, berhitung, dan pengembangan sikap-sikap terhadap kelompok social dan lembaga-lembaga merupakan tanggung jawab guru dan orang tua.



B. Perkembangan Fisik Anak-anak Akhir

1. Perubahan- Perubahan Tubuh
Pada periode masa pertengahan dan akhir ank-anak meliputi pertumbuhan yang lambat dan konsisten. Masa ini adalah suatu periode tenang sebelum pertumbuhan yang cepat menjelang masa remaja. Di antara aspek-aspek penting perubahan tubuh di dalam periode perkembangan adalahaspek-aspek yang berkaitan dengan sistem rangka, sistem otot, dan keterampilan-keterampilan motorik.
Selama tahun-tahun Sekolah Dasar, anak-anak bertumbuh rata-rata sekitar 5 hingga 7,6 cm pertahun. Sehingga pada usia 11 tahun, tinggi rata-rata anak perempuan adalah 147 cm dan tinggi rata-rata anak laki-laki adalah 146 cm. Kaki anak-anak menjadi lebih panjang dan tubuh lebih kurus. Selama tahun-tahun pertengahan dan akhir masa anak-anak, berat anak-anak bertambah rata-rata 2,3 hingga 3,2 kg pertahun. Berat meningkat terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka dan otot, serta ukuran beberapa organ tubuh. Massa dan kekuatan otot berangsur-angsur bertambah pada saat yang sama. Bertambahnya kekuatan otot ini disebabkan karena faktor keturunan dan olahraga.

2. Keterampilan Motorik
Selama masa akhir anak-anak ini, perkembangan motorik anak-anak menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi daripada pada masa awal anak-anak. Misalnya, anak-anak pada masa ini sudah dapat bermain bulu tangkis dengan cukup baik.
Ketika anak-anak memasuki tahun-tahun Sekolah Dasar, mereka memperoleh kendali yang lebih besar atas tubuh mereka dan dapat duduk serta berdiri dalam waktu yang lebih lama. Anak-anak menjadi lebih aktif, oleh karena itu dalam kelas, ia merasa jenuh apabila harus terlalu lama duduk dan fokus ke papan tulis.
Pada masa akhir anak-anak ini tindakan fisik sangatlah penting untuk memperhalus keterampilan-keterampilan mereka yang sedang berkembang, seperti memukul bola, melompat tali, atau melakukan suatu gerak keseimbangan di atas balok. Oleh karena itu, pada prinsipnya anak-anak Sekolah Dasar harus terlibat secara aktif di dalam kegiatan-kegiatan
Meningkatnya mielin di sistem saraf pusat merupakan merupakan penyebab membaiknya keterampilan-keterampilan motor kasar, sehingga tangan anak-anak dapat digunakan dengan lebih tangkas sebagai alat. Sebagai contoh, anak berusia enam tahun dapat memukul, meninju, mengikat tali sepatu, dan mengancingkan baju. Pada usia tujuh tahun tangan anak-anak menjadi lebih kuat, sehingga pada usia ini sering kali anak-anak lebih senang mewarnai gambar menggunakan pensil warna daripada menggunakan krayon. Pada usia tujuh tahun tulisan anak-anak juga menjadi lebih kecil dibandingkan tulisan saat mereka masih berusia empat tahun (saat masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak).
Dari usia 8 sampai 10 tahun, tangan anak-anak dapat digunakan dengan bebas secara tepat. Pada usia ini, tulisan mereka lebih kecil dan lebih rata. Pada usia 10 sampai 12 tahun, mereka mulai memperlihatkan keterampilan-keterampilan manipulatif menyerupai orang-orang dewasa. Mereka mulai mampu memperlihatkan gerakan-gerakan yang kompleks, rumit, dan cepat yang diperlukan untuk menghasilkan karya yang bagus atau sudah mampu memainkan instrumen musik (biasanya pada anak Sekolah Dasar dapat memainkan pianika).
Menurut suatu investigasi di Amerika Serikat, dikatakan bahwa semakin sering anak-anak menonton televisi, maka semakin besar kemungkinan mereka kelebihan berat badan. Diperkirakan penyebabnya adalah anak-anak yang sering menonton televisi, selalu menikmati cemilan dan kurang menggerakan badannya, sehingga badan mereka pun menjadi lebih bugar.

3. Hiperaktif pada Anak-anak Akhir
Atention Hyperactiviti Disorder atau yang biasa disebut sebagai hiperaktif mempunyai ciri berupa suatu rentang perhatian yang pendek, perhatian mudah beralih, dan tingkat kegiatan fisik yang tinggi. Singkatnya, anak-anak ini tidak menaruh perhatian dan memiliki kesulitan memusatkan pada sesuatu yang sedang dilakukannya. Kebanyakan, anak yang mengalami hiperaktif dapat diidentifikasi saat tiga tahun pertama di Sekolah Dasar, apabila guru menyadari bahwaseorang anak mengalami kesulitan yang besar dalam menaruh perhatian, duduk diam, dan memusatkan perhatian pada tugas yang diberikan.
Anak laki-laki empat kali lebih hiperaktif dibandingkan dengan anak perempuan. Perbedaan jenis kelamin ini dapat disebabkan oleh perbedaan-perbedaan pada otak pada anak laki-laki dan anak perempuan yang ditentukan oleh plasma pembawaan sifat pada kromosom Y. Dapat dikatakan, faktor keturunanlah (genetik) yang menyebabkan seorang anak menjadi hiperaktif. Biasanya, seorang ibu yang mengkonsumsi alkohol atau mengkonsumsi gula dan kafein secara berlebihan dapat menyebabkan anak yang terlahir menjadi hiperaktif. Dikatakan pula bahwa amphetamines merupakan obat-obatan yang dapat menyembuhkan anak-anak yang hiperaktif.
C. Perkembangan Kognitif

Dalam membahas perkembangan kognitif pada masa akhir anak-anak, pada makalah ini kami memfokuskan kepada teori dari Piaget tentang pemikiran operasional konkrit.

1. Teori Operasional Konkret Piaget
Menurut Piaget (1967), pemikiran anak prasekolah adalah praoperasional. Pemikiran praoperasional meliputi pembentukan konsep-konsep yang tetap, penalaran mental, dan penonjolan sikap egosentrisme. Pemikiran selama tahun-tahun prasekolah masih belum sempurna dan tidak terorganisasi dengan baik. Piaget yakin bahwa pemikiran operasional konkret tidak tampak hingga usia 7 tahun, tetapi pada usia 8 tahun yang diperkirakan saat seorang anak duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar.
Pemikiran operasional konkret menurut Piaget terjadi saat anak berusia 7-12 tahun. Operasional konkret terdiri dari operasi-operasi, tindakan-tindakan mental yang memungkinkan anak melakukan secara mental apa yang telah dilakukan secara fisik sebelumnya. Operasi-operasi konkret juga adalah tindakan-tindakan mental yang sebaliknya atau bertentangan. Operasional konkret anak memperlihatkan keterampilan-keterampilan konservasi dan klasifikasi. Operasional konkret membuat anak membutuhkan ketersediaan dukungan-dukungan perseptual untuk bernalar yang pada perkembangan selanjutnya pemikiran menjadi lebih abstrak.
Dalam suatu tes yang terkenal tentang operasional konkret, seorang anak diberi dua buah bola lilin yang identik. Peneliti menggulung satu bola menjadi menjadi satu bentuk yang panjang dan tipis. Bola yang satu lagi masih berbentuk asli. Kemudian anak ditanya, apakah lebih banyak lilin yang berada di dalam bola atau di dalam potongan lilin yang panjang dan tipis tersebut? Ditemukan bahwa pada anak-anak yang berusia 7 atau 8 tahun, jawaban yang paling banyak diberikan adalah sama. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan benar, seorang anak harus membayangkan bahwa bola lilin digulung menjadi suatu bidang yang panjang, tipis, dan kemudian dikembalikan ke bentuk aslinya yang bundar. Oleh karena itu, operasional konkret dikatakan sebagai suatu tindakan mental yang bertentangan terhadap objek-objek yang nyata dan konkret. Pada operasional konkret, dimungkinkan seorang anak mengkoordinasikan beberapa karakteristik dan bukan berfokus pada suatu properti tunggal pada suatu objek.
Pada operasional konkret, dikatan juga, bahwa seorang anak sudah dapat memahami sudut pandang orang lain (mengerti maksud dari perkataan orang lain) dan semakin sedikit membuat kesalahan logika.

2. Teori Piaget pada Pendidikan
Prinsip-prinsip dari teori Piaget yang dapat diterapkan ke dalam pendidikan anak-anak menurut David Elkind, terdapat tiga prinsip, yakini:
 Komunikasi, menurut Piaget pikiran anak bukanlah suatu kotak yang kosong, namun sebaliknya, seorang anak memiliki sejumlah gagasan tentang dunia fisik dan alamiah, yang berbeda dari gagasan-gagasan orang dewasa. Dengan demikian, orang dewasa harus belajar memahami tentang apa yang dikatakan oleh anak-anak dan menanggapi dengan cara berbicara yang sama dengan yang digunakan oleh anak-anak.
 Anak selalu ingin atau tidak ingin belajar kembali untuk memperoleh pengetahuan. Anak-anak datang ke sekolah dengan gagasan-gagasan mereka sendiri tentang ruang, waktu, sebab, jumlah, dan angka.
 Anak pada dasarnya adalah suatu mahluk yang berpengetahuan, yang termotivasi untuk memperoleh pengetahuan.

3. Pemrosesan Informasi pada Anak-anak
Pada pembahasan mengenai pemrosesan informasi pada anak-anak akhir ini, kita memfokuskan pada perbaikan-perbaikan di dalam memori, skema dan script (naskah).

 Memori
Tugas-tugas yang meliputi memori jangka pendek misalnya, memperlihatkan suatu peningkatan yang besar sekali di dalam memori jangka pendek selama masa awal anak-anak, tetapi setelah usia 7 tahun tidak memperlihatkan banyak peningkatan. Memori jangka panjang anak-anak bertambah selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Dua aspek memori yang terkait dengan peningkatan memori jangka panjang adalah proses pengendalian (control processes) dan karakteristik murid (learner characteristics). Tiga proses kontrol (kendali) yang penting yang terjadi pada anak-anak ialah pengulangan (rehearsal), organisasi, dan perbandingan (imagery).
Pengulangan ialah suatu proses kontrol yang meningkatkan memori, dengan mengulang informasi setelah informasi itu disajikan. Pengulangan terjadi, misalnya, ketika anak-anak mendengar suatu nomor telepon, kemudian mengulangi nomor itu beberapa kali untuk meningkatkan memori mereka tentang nomor tersebut.
Proses kontrol lain yang berkembang ketika anak-anak menyelami usia masa pertengahan dan akhir anak-anak adalah perbandingan. Strategi perbandingan yang kuat ialah metode kata kunci, yang telah dimanfaatkan secara praktis untuk mengajarkan anak-anak sekolah dasar bagaimana menguasai secara cepat informasi baru seperti mempelajari bahasa asing dan sebagainya.
Selain proses-proses kendali ini, sifat-sifat anak mempengaruhi memori. Usia merupakan variabel yang kuat. Selain itu, banyak sifat-sifat anak menentukan efektivitas memori. Sifat-sifat ini meliputi sikap, motivasi, dan kesehatan. Tetapi, sifat yang paling diuji secara menyeluruh adalah pengetahuan yang telah diperoleh oleh anak sebelumnya (acquired knowledge).

 Skema dan Script
Skema ialah suatu konsep kognitif yang penting di dalam pemrosesan memori dan informasi. Skema berasal dari pengalaman anak sebelumnya di dalam mengahadapi lingkungan, dan mempengaruhi cara anak-anak menyandikan (encode), mengambil kesimpulan-kesimpulan, dan menyimpan informasi. Anak-anak memiliki skema cerita, pemandangan, tata ruang (kamar mandi atau taman) dan peristiwa-peristiwa umum (seperti pergi ke suatu restoran, bermain dengan mainan, atau berlatih sepak bola).
Anak-anak sering mendengar dan menceritakan cerita-cerita. Dan ketika mereka mengembangkan kemampuan untuk membaca, mereka terpengaruh oleh banyak jenis cerita-cerita yang di buku dan majalah. Satu penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada usia yang sangat muda dapat menggunakan struktur-struktur seperti ini untuk mengisi informasi yang hilang, mengingat lebih baik, dan menceritakan cerita-cerita relatif lebih berkesinambungan. Tetapi, perubahan-perubahan terjadi sepanjang tahun-tahun masa kanak-kanak, terutama pada kemampuan anak-anak untuk mengidentifikasi peristiwa-peristiwa yang menonjol di dalam cerita, menguraikan cerita-cerita yang berbeda, dan mempertahankan alur-alur cerita yang banyak di dalam pikiran mereka ketika menghadapi cerita-cerita yang lebih kompleks yang meliputi beberapa episode dan lebih dari satu karakter utama.
Script ialah suatu skema bagi suatu peristiwa. Skrip pertama anak-anak tampak pada perkembangan yang sangat dini, mungkin seawal tahun pertama kehidupannya. Anak-anak memiliki script yang jelas pada saat mereka masuk sekolah. Ketika mereka berkembang, script mereka menjadi lebih halus dan lebih canggih. Misalnya, script seorang anak berusia 4 tahun tentang suatu restoran mungkin hanya meliputi informasi tentang duduk dan makan makanan. Pada pertengahan dan akhir masa kanak-kanak, anak menambahkan informasi kepada script restoran tentang tipe-tipe orang yang melayani makanan, tipe-tipe pembayaran pada kasir, dan lain-lain.

 Pengetahuan Metakognitif
Pengetahuan metakognitif ialah pengetahuan tentang kognisi, tentang pikiran manusia dan cara kerjanya yang telah diakumulasikan oleh anak-anak melalui pengalaman, dan disimpan di dalam memori jangka panjang.
Pengetahuan kognitif tentang manusia mengandung wawasan seperti berikut: (Yussen & Levy, 1975): “Manusia, termasuk diriku sendiri, memiliki batas-batas jumlah informasi yang dapat mereka proses. Tidak mungkin memproses semua informasi yang masuk ke pikiranku. Kalau aku terlalu khawatir tentang ini, aku merasakan tekanan informasi yang sangat berat.” Pengetahuan metakognitif tentang tugas mengandung wawasan seperti berikut: “Beberapa kondisi sering menyebabkan kita lebih sulit atau lebih mudah memecahkan suatu masalah atau menyelesaikan suatu tugas.” Pengetahuan metakognitif tentang strategi mengandung wawasan seperti berikut: “Beberapa langkah kognitif akan menolong aku menyelesaikan sejumlah besar tugas kognitif (mengingat, mengkomunikasikan, membaca). Tetapi, beberapa strategi akan menolong aku menyelesaikan beberapa tugas lebih baik daripada tugas-tugas lain.”
Banyak ahli perkembangan yakin bahwa pengetahuan metakognitif menguntungkan pembelajaran sekolah dan bila murid-murid (khususnya anak-anak kecil) kurang menguasai pengetahuan metakognitif, pengetahuan ini kemungkinan dapat diajarkan kepada mereka (Flavell, 1985; Flavell, Miller, & Miller, 1993).

4. Perkembangan Bahasa
Bantuan untuk memperbaiki pembicaraan pada masa kanak-kanak akhir berasal dari empat sumber. Pertama, orang tua dari kelompok social ekonomi menengah keatas merasa bahwa berbicara sangat penting sehingga mereka memacu anak-anak mereka untuk berbicara lebih baik dengan memperbaiki setiap ucapan yang salah, memperbaiki kesalahan tata bahasa dan mendorong untuk berperan serta dalam setiap pembicaraan keluarga yang bersifat umum. Kedua, radio dan televisi memberikan contoh yang baik bagi pembicaraan anak-anak yang lebih besar sebagai mana halnya bagi anak-anak selama tahun-tahun prasekolah. Radio dan televisi juga mendorong untuk didengarkan secara seksama sehingga kemampuan untuk mengerti apa yang dikatakan oleh orang lain meningkat. Ketiga, setelah anak belajar membaca, ia menambah kosa kata dan terbiasa dengan bentuk kalimat yang benar. Dan keempat, setelah anak mulai sekolah, kata-kata yang salah ucap dan arti-arti yang salah biasanya cepat diperbaiki oleh guru.
• Penambahan kosa kata
Sepanjang masa kanak-kanak akhir penambahan kosa kata umum terjadi secara teratur. Dari berbagai pelajaran sekolah, bacaan, pembicaraan dengan anak-anak lain dan usahanya melalui radio dan televisi, anak menambah kosa kata yang ia pergunakan dalam pembicaraan dan tulisan. Ini dikenal sebagai “kosa kata umum”, karena terdiri dari kata-kata yang digunakan secara umum, bukan kata-kata yang artinya terbatas yang hanya dapat digunakan dalam konteks yang khusus.
• Pengucapan
Kesalahan dalam pengucapan kata-kata lebih sedikit pada usia ini dari pada sebelumnya. Sebuah kata baru mungkin ketika pertama kali digunakan, diucapkan dengan tidak tepat, tapi setelah beberapa kali mendengar pengucapan yang benar, anak sudah mampu mengucapkannya secara benar.
• Pembentukan kalimat
Anak usia enam tahun harus sudah menguasai hampir semua jenis struktur kalimat. Dari 6-9 atau 10 tahun, panjang kalimat akan bertambah. Kalimat panjang biasanya tidak teratur dan terpotong-potong. Berangsur-angsur setelah usia 9 tahun anak mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat.

D. Perkembangan Sosial

1. Keluarga (orang tua)
Pada anak-anak akhir, para orang tua hanya memberikan sedikit waktunya pada mereka (anak-anak). Menurut suatu investigasi, waktu yang dihabiskan oleh orang tua untuk mengasuh, mengajar berbicara, dan bermain dengan anak-anak mereka yang berusia 5 hingga 12 tahun kurang dari setengah dari waktu yang dihabiskan ketika anak-anak masih lebih kecil.
Menerapkan suatu sikap disiplin kepada anak selama masa akhir anak-anak seringkali lebih mudah bagi orang tua daripada saat masa awal anak-anak, dan juga lebih mudah dari masa remaja. Pada masa akhir anak-anak ini, perkembangan kognitif anak-anak sudah mulai matang, sehingga memungkinkan orang tua untuk bermusyawarah dengan mereka mengenai penolakan penyimpangan dan pengendalian perilaku anak-anak.
Selama masa akhir anak-anak, beberapa kendali dialihkan dari orang tua kepada anak, walaupun prosesnya bertahap dan merupakan koregulasi atau aturan yang dibuat bersama-sama antara orang tua dan anak-anak. Proses koregulasi ini adalah suatu periode transisi antara kuatnya kendali orang tua dari masa awal anak-anak, ke masa akhir anak-anak, bahkan ke masa remaja. Selama koregulasi ini, orang tua harus:
 Memonitor, menuntun, dan mendukung anak-anak ari jauh.
 Menggunakan waktu secara efektif ketika mengadakan kontak langsung dengan anak.
 Memperkuat kemampuan anak untuk memantau perilakunya sendiri, mengadopsi standar-standar perilaku yang sesuai, menghindari resiko-resiko yang membahayakan, dan merasakan kapan dukungan dan kontak orang tua sesuai.
Pada seorang ibu yang bekerja di luar rumah, belum tentu menimbulkan akibat-akibat yang negatif bagi anak, karena akibat negatif kemungkinan terbesar timbul dari pola asuh yang salah, walaupun seorang ibu bekerja atau tidak bekerja. Pada anak-anak yang memiliki ibu yang bekerja, biasanya mereka tidak melihat orang tuanya saat ia pergi ke sekolah (kira-kira pukul 7) sampai ibunya pulang (biasanya pukul 7 malam). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Lynette Long, disimpulkan bahwa pada anak-anak yang memiliki ibu yang bekerja, biasanya bertumbuh terlalu pesat, yang diakibatkan dari tugas atau tanggung jawab yang dipegang si anak.

2. Teman Sebaya
Pada anak-anak akhir, biasanya yang dilakukan dengan teman sebayanya adalah olah raga, bejalan-jalan, bermain games dan sebagainya. Permainan yang dilakukan mereka biasanya terjadi terhadap teman yang berjenis kelamin sama. Anak laki-laki bermain dengan teman laki-laki, dan anak perempuan bermain dengan teman perempuan.
Anak-anak yang sering memberi bantuan kepada teman-temannya, akan menjadi anak yang populer. Anak juga menjadi populer karena ia cenderung berkomunikasi secara lebih jelas, dapat menarik perhatian, dan lebih memelihara percakapan dengan teman sebayanya.
Anak-anak yang diabaikan, menerima sedikit perhatian dari teman-teman sebaya mereka, tetapi tidak berarti mereka tidak disukai oleh teman-teman sebaya mereka. Sedangkan pada anak-anak yang ditolak, adalah anak-anak yang tidak disukai oleh temannya. Biasanya mereka ditolak karena mereka agresif, mengganggu, atau pemalu. Pada anak yang diabaikan, lebih karena mereka pemalu, sehingga mereka enggan untuk bermain secara aktif dengan teman-temannya. Anak-anak yang ditolak seringkali mengalami masalah penyesuaian diri yang loebih serius dikemudian hari dibanding dengan anak-anak yang diabaikan.
Dalam interaksi teman sebaya, anak-anak akan bergabung dan membuat sebuah geng. Gang merupakan usaha anak untuk menciptakan suatu masyarakat yang sesuai bagi kebutuhan mereka. Gang yang umum adalah kelompok bermain yang sama, tujuannya yang utama adalah bersenang-senang meskipun bersenag-senang itu adakalanya menjurus pada kenakalan. Sejak usia 6 sampai 7 tahun anak laki-laki dan anak perempuan biasanya merasa lebih senang apabila berada di dalam kelompok yang sama jenis kelaminnya. Akibatnya, susunan gang biasanya bersifat satu jenis kelamin (Unisex).
Karena setiap anak mempunyai kebutuhna social yang berbeda-beda, tipe yang memenuhi kebutuhan seorang anak tidak selalu memenuhi kebutuhan anak lainnya. Anak yang mempunyai social di luar rumah selama masa prasekolah akan berminat menjadi anggota gang lebih awal dibandingkan dengan anak yang pada masa prasekolah hubungan sosialnya terbatas pada anggota keluarga.
Gang yang ada, membawa pengaruh terhadap anak-anak. Havighurst menyatakan bahwa gang mempunyai empat cara utama dalam membantu anak-anak menjadi pribadi yang mampu bermasyarakat:
Cara Gang Melakukan Sosialisasi Terhadap Anak-anak
1. Gang membantu anak bergaul dengan teman sebaya dan berperilaku yang dapat diterima secara social bagi mereka.
2. Gang dapat membantu anak dalam mengembangkan kesadaran rasional dan skala untuk melengkapi atau mengganti nilai orang tua yang cenderung sebagai “kata hati yang otoriter”.
3. Melalui pengalaman gang anak mempelajari sikap- social yang pantas, misalnya cara menyukai orang serta cara untuk menikmati kehidupan social dan aktivitas kelompok.
4. Gang dapat membantu kemandirian pribadi anak dengan memberikan kepuasan emosional dan persahabatan dengan teman sebaya.
Sebagian besar kehidupan gang pada masa kanak-kanak menunjang perkembangan kualitas yang baik. Gang mengajarkan anak-anak untuk bersikap demokratis, untuk menyesuaiakan keinginan dan perbuatan mereka dengan perbuatan kelompok, untuk bekerjasama dengan anggota kelompok, untuk mengembangkan keterampilan yang mungkin dilakukan teman sebaya, dan untuk menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri dan individualisme antisosial.

Guru
Guru memiliki pengaruh yang sangat penting pada masa akhir anak-anak ini. Guru merupakan simbol otoritas dan menciptakan iklim kelas, kondisi-kondisi interaksi di antara murid-murid, dan hakekat keberfungsian kelompok. Hampir semua kehidupan seseorang dipengaruhi oleh peran guru.

E . Perkembangan Emosi
Dalam penelitian di bidang psikologi anak telah dibuktikan pula bahwa anak-anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan lebih percaya diri, lebih bahagia, poluler, dan sukses di sekolah. Mereka yang lebih mampu menguasai emosinya, dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, mampu mengelola stress dan memiliki kesehatan mental yang baik. Sejumlah penelitian terbaru mengenai otak manusia semakin memperkuat keyakinan bahwa emosi mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan keberhasilan belajar anak. Penelitian LE DOUX misalnya menunjukkan betapa pentingnya integrasi antara emosi dan akal dalam kegiatan belajar. Tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak akan berkurang dari yang dibutuhkan untuk menyimpan pelajaran dalam memori. Hal ini karena pesan-pesan dari indera-indera kita yaitu dari mata dan telinga – terlebih dahulu tercatat pada struktur otak yang paling terlibat dalam memori emosi – yaitu amigdala - sebelum masuk ke dalam neokorteks.

F. Perkembangan Moral
Pada pembahasan mengenai perkembangan moral ini, kami memfokuskan kepada perkembangan moral dari Kohlberg. Kohlberg percaya bahwa terdapat tiga tingkat perkembangan moral, yang masing-masingnya ditandai dengan dua tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg ialah internalisasi, yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara internal.

Tingkat Satu: Penalaran Prakonvensional
Penalaran prakonvensional adalah tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral.
Tahap 1: orientasi hukuman dan ketaatan (punishment and obedience orientation) ialah tahap pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas hukuman. Jadi pada tahap ini, anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap 2: individualisme dan tujuan (individualism and purpose)
ialah tahap kedua dala teori perkembangan morak Kohlberg. Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Jadi pada tahap ini, anak-anak tahap bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.

Tingkat dua: Penalaran Konvesional
Penalaran konvensional (conventional reasoning) ialah tingkat kedua atau tingkat menengah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, internalisasi individual ialah menengah. Seorang menaati standar-standar (internal) orang lain tertentu, tetapi mereka tidak menaati standar-standar orang lain (eksternal), seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.
Tahap 3: Norma-norma interpersonal (interpersonal norms)
Ialah tahap ketiga dala teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, seseorangmenghargai kebenaran, keperdulian, dankesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orngtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh orangtuanya sebagai seorang “perempuan yang baik”atau seorang “laki-lakiyang baik.”
Tahap 4: Moralitas sistem social (social system morality)
Ialah tahap keempat dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini, pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas pemahaman aturan social,hukum-hukum keadilan dan kewajiban.

G. Perspektif Islam Tentang Perkembangan Anak-anak Akhir

Tugas-tugas perkembangannya adalah:
1. perubahan perssepsi konkrit menuju persepsi yang abstrak. Misalnya, persepsi mengenai ide-ide ketuhanan, alam akhirat, dsb.
2. Pengembangan ajaran-ajaran normative agama melalui institusi sekolah, baik yang berkenaan dengan aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: “ Perintahlah anak-anak kalian melakkukan shalat ketika ia berusia tujuh tahun, dan pukullah ia jika ia meninggalkannya apabila berusia sepuluh tahun dan pisahkan ranjangnya”. (H.R.Ahmad, Abu daud, dan Alhakim dari Abdullah bin Umar).
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa usia tuuh tahu merupakan usia mulai berkembangnya kesadaran akan pernuatan baik dan buruk, benar dan salah, sehingga Nabi SAW memerintahkan kepada orang tua untuk mendidik shalat kepada anak-anaknya.
Ketika usia sepuluh tahun, tingkat kesadaran anak akan perbuatan baik dan buruk, benar dan salah mendekati sempurna, sehingga Nabi SAW memerintahkan orang tua untuk “memukul” anaknya yang meninggalkan shalat. Makna “memukul” disini tidak berarti bersifat biologis, seperti memukul kepala atau anggota tubuh lainnya, melainkan bersifat psikologis seperti menggugah kesadaran atau menjatuhkan mentalnya.
Dengan demikian, maka pukulan tersebut merupakan bentuk pelajaran dan pendidikan. Selain itu usia sepuluh tahun kondisi anak berbeda, ia lebih mengenal dan memahami. Oleh karena itu, pada usia tersebut para ulama fikih mewajibkan mereka untuk beriman, jika tidak maka ia terkena hukuman, walaupun pada persoalan iman yang lebih detail anak tersebut tidak dibebani kewajiban, sebab ia telah diberi perangkat untuk mengenal Sang Pencipta, untuk mengesakan Tuhan, membenarkan para Rasulnya serta dapat menangkap dalil-dalilNya, sebagaimana ia dapat memahami berbagai pengetahuan lainnya, mengetahui kemaslahatan dunianya. Menurut Imam Ahmad, saat usia sepuluh tahun juga sudah diperbolehkan untuk menerima wasiat.

Pengertian Observasi

A. PENGERTIAN
Istilah observasi berasal dan bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi menjadi bagian dalam penelitian berbagai disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu sosial, Observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratoriurn (experimental) maupun konteks alamiah.
Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat re-checkingin atau pembuktian terhadap informasi / keterangan yang diperoleh sebelumnya.Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas observasi sebenarnya tidak hanya terbatas kepada pengamatan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan tidak langsung misalnya melalui questionnaire dan tes.
B. TUJUAN OBSERVASI
Pada dasarnya observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dan perspektif mereka terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus kuat, faktual, sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan.
Observasi perlu dilakukan karena beberapa alasan, yaitu:
1. Memungkinan untuk mengukur banyak perilaku yang tidak dapat diukur dengan menggunakan alat ukur psikologis yang lain (alat tes). Hal ini banyak terjadi pada anak-anak.
2. Prosedur Testing Formal seringkali tidak ditanggapi serius oleh anak-anak sebagaimana orang dewasa, sehingga sering observasi menjadi metode pengukur utama.
3. Observasi dirasakan lebih mudah daripada cara peugumpulan data yang lain. Pada anak-anak observasi menghasilkan informasi yang lebih akurat daripada orang dewasa. Sebab, orang dewasa akan memperlihatkan perilaku yang dibuat-buat bila merasa sedang diobservasi.
Tujuan observasi bagi seorang psikolog pada dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Untuk keperluan asesmen awal dilakukan di luar ruang konseling, misalnya: ruang tunggu, halaman, kelas, ruang bermain.
2. Sebagai dasar/titik awal dari kemajuan klien. Dari beberapa kali pertemuan psikolog akan mengetahui kemajuan yang dicapai klien.
3. Bagi anak-anak, untuk mengetahui perkembangan anak-anak pada tahap tertentu.
4. Digunakan dalam memberi laporan pada orangtua, guru, dokter, dan lain-lain.
5. Sebagai informasi status anak/remaja di sekolah untuk keperluan bimbingan dan konseling.
C. TEKNIK OBSERVASI
Ada tiga jenis teknik pokok dalam observasi yang masing-masing umumnya cocok untuk keadaan-keadaan tertentu, yaitu:
1. Observasi Partisipan
Suatu observasi disebut observasi partisipan jika orang yang rnengadakan observasi (observer) turut ambil bagian dalam perikehidupan observer. Jenis teknik observasi partisipan umumnya digunakan orang untuk penelitian yang bersifat eksploratif. Untuk menyelidiki satuan-satuan sosial yang besar seperti masyarakat suku bangsa karena pengamatan partisipatif memungkinkankan peneliti dapat berkomunikasi secara akrab dan leluasa dengan observer, sehingga memungkinkan untuk bertanya secara lebih rinci dan detail terhadap hal-hal yang akan diteliti.
Beberapa persoalan pokok yang perlu mendapat perhatian yang cukup dan seorang participant observer adalah sebagai berikut:
a. Metode Observasi
Persoalan tentang metode observasi sama sekali tidak dapat dilepaskan dari scope dan tujuan penelitian yang hendak diselenggarakan. Observer perlu memusatkan perhatiannya pada apa yang sudah diterangkan dalam pedoman observasi (observation guide) dan tidak terlalu insidental dalam observasi-observasinya.
b. Waktu dan Bentuk Pencatatan
Masalah kapan dan bagaimana mengadakan pencatatan adalah masalah yang penting dalam observasi partisipan. Sudah dapat dipastikan bahwa pencatatan dengan segera terhadap kejadian-kejadian dalam situasi interaksi merupakan hal yang terbaik.
Pencatatan on the spot akan mencegah pemalsuan ingatan karena terbatasnya ingatan. Jika pencatatan on the spot tidak dapat dilakukan, sedangkan kelangsungan situasi cukup lama, maka perlu dijalankan pencatatan dengan kata-kata kunci. Akan tetapi pencatatan semacam ini pun harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak menarik perhatian dan tidak menimbulkan kecurigaan. Pencatatan dapat dilakukan, misalnya pada kertas-kertas kecil atau pada kertas apa pun yang kelihatannya tidak berarti.
d. Intensi dan Ekstensi Partisipasi
Seacara garis besar, partisipasi tidaklah sama untuk semua penelitian dengan observasi partisipan ini. Peneliti dapat mengambil partisipasi hanya pada beberapa kegiatan sosial (partial participation), dan dapat juga pada semua kegiatan(full particiration). Dan, dalam tiap kegiatan itu penyelidik dapat turut serta sedalam-dalamnya (intensive participation) atau secara minimal (surface participation). Hal ini tergantung kepada situasi.
Dalam observasi partisipan, observer berperan ganda yaitu sebagai pengamat sekaligus menjadi bagian dan yang diamati. Sedangkan dalam observasi nonpartisipan, observer hanya memerankan diri sebagai pengamat. Perhatian peneliti terfokus pada bagaimana mengamati, merekam, memotret, mempelajari, dan mencatat tingkah laku atau fenomena yang diteliti. Observasi nonpartisipan dapat bersifat tertutup, dalam arti tidak diketahui oleh subjek yang diteliti, ataupun terbuka yakni diketahui oleb subjek yang diteliti.
2. Observasi Sistematik
Observasi sistematik biasa disebut juga observasi berkerangka atau structured observation. Ciri pokok dari observasi ini adalah kerangka yang memuat faktor-faktor yang telah di atur kategorisasinya lebih dulu dan ciri-ciri khusus dari tiap-tiap faktor dalam kategori-kategori itu.
a. Materi Observasi
Isi dan luas situasi yang akan diobservasi dalarn observasi sistematik umumnya lebih terbatas. Sebagai alat untuk penelitian desicriptif, peneliti berlandaskan pada perumusan-perumusan yang lebih khusus. Wilayah atau scope observasinya sendiri dibatasi dengan tegas sesuai dengan tujuan dan penelitian, bukan situasi kehidupan masyarakat seperti pada observasi partisipan yang umumnya digunakan dalam penelitian eksploratif.
Perumusan-perurnusan masalah yang hendak diselidikipun sudah dikhususkan, misalnya hubungan antara pengikut, kerjasama dan persaingan, prestasi be1aar, dan sebagainya. Dengan begitu kebebasan untuk memilih apa yang diselidiki sangat terbatas. Ini dijadikan ciri yang membedakan observasi sistematik dan observasi partisipan.
b. Cara-Cara Pencatatan
Persoalan-persoalan yang telah dirumuskan secara teliti memungkinkan jawaban-jawaban, respons, atau reaksi yang dapat dicatat secara teliti pula. Ketelitian yang tinggi pada prosedur observasi inilah yang memberikan kemungkinan pada penyelidik untuk mengadakan “kuantifikasi” terhadap hasil-hasil penyelidikannya. Jenis-jenis gejala atau tingkah laku tertentu yang timbul dapat dihitung dan ditabulasikan. Ini nanti akan sangat memudahkan pekerjaan analisis hasil.
3. Observasi Eksperimental
Observasi dapat dilakukan dalam lingkup alamiah/natural ataupun dalam lingkup experimental. Dalam observasi alamiah observer rnengamati kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan perilaku-perilaku observe dalam lingkup natural, yaitu kejadian, peristiwa, atau perilaku murni tanpa adanya usaha untuk menguntrol.
Observasi eksperimental dipandang sebagai cara penyelidikan yang relatif murni, untuk menyeidiki pengaruh kondisi-kondisi tertentu terhadap tingkah laku manusia. Sebab faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkah laku observee telah dikontrol secermat-cermatnya, sehingga tinggal satu-dua faktor untuk diamati bagaimana pengaruhnya terhadap dimensi-dimensi tertentu terhadap tingkah laku.
Ciri-ciri penting dan observasi eksperimental adalah sebagai berikut :
• Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seseragam mungkin untuk semua observee.
• Situasi dibuat sedemikian rupa, untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laku yang akan diamati oleh observee.
• Situasi dibuat sedemikian rupa, sehingga observee tidak tahu maksud yang sebenannya dan observasi.
• Observer, atau alat pencatat, membuat catatan-catatan dengan teliti mengenai cara-cara observee mengadakan aksi reaksi, bukan hanya jumlah aksi reaksi semata.




Sumber:
Rahayu, Iin Tri, S.Psi dan Ardani, Tristiadi Ardi, S.Psi, M.Si. 2004. Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia.

Belajar Sosial dan Sosialisasi

A. Konsep dasar Belajar Sosial dan Sosialisasi
Dalam kehidupan manusia, ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara fisik dan belajar dan belajar secara psikis. Yang termasuk contoh dari belajar secara fisik adalah belajar menari, belajar bela diri, belajar mengendarai dan lain sebagainya. Sedangkan yang termasuk belajar secara psikis adalah belajar sosial (social learning), dimana seseorang mempelajari perannya dan peran orang lain dalam kontak sosial, yang kemudian orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai peran sosial yang telah dipelajarinya itu. Cara belajar sosial yang paling utama yaitu dengan cara meniru (imitation).
Meniru (imitation) dapat berupa meniru tingkah laku orang lain dari cara berjalan, berpakaian, dan sebagainya, sampai pada meniru kepribadian orang lain. Contoh kecil dari perilaku meniru adalah, saat seorang anak muda menjadi fans dari artis X, maka anak muda tersebut di setiap perilakunya selalu meniru artis X, baik dari penampilan serta bersikap. Penjelasan lebih lanjut mengenai meniru yang dipelajari dari hasil pengamatan, akan kami bahas pada bagian berikutnya.
Belajar sosial, dalam kaitannya dengan psikologi sosial sering diartikan sebagai pandangan para pakar psikologi yang menekankan perilaku, lingkungan, dan kognisi sebagai faktor kunci dalam memahami dunia sosial. Dalam belajar sosial, ditekankan pentingnya kepercayaan, persepsi dan observasi perilaku orang lain dalam menentukan apa yang kita pelajari dan bagaimana kita bertindak. Jadi, dalam teori ini, kebanyakan pembelajaran yang dilakukan oleh manusia, diperoleh melalui mengobservasi perilaku orang lain dalam konteks sosial dibanding melalui prosedur-prosedur standar pengkondisian, yang berarti dalam pembelajaran sosial, seseorang berperilaku tidak hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan saja, tetapi aspek kognitif juga memainkan peran yang sangat penting. Banyak berbagai contoh dari meniru perilaku orang lain (imitasi) yang melibatkan aspek kognitif.
Para teoritisi belajar sosial mengatakan bahwa manusia tidak sama seperti robot yang tidak memiliki pikiran, yang tanggap secara mekanis terhadap orang lain di dalam lingkungan manusia. Namun sebaliknya, manusia berpikir, membayangkan, bernalar, merencanakan, mengharapkan, menginterpetasikan, meyakini, menilai, dan membandingkan. Jadi, ketika orang lain mencoba mengendalikan tingkah laku kita, nilai-nilai dan keyakinan kita memungkinkan kita untuk menolak kendali tersebut.
Sedangkan sosialisasi yang juga berkaitan dengan proses belajar sosial, merupakan suatu konsep umum yang bisa dimaknai sebagai sebuah proses di mana kita belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara berpikir, merasakan, dan bertindak, di mana kesemuanya itu merupakan hal-hal yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi sosial yang efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi selama hidup kita.
Baik belajar sosial maupun sosialisasi, dapat dikatakan bahwa keduanya merupakan suatu proses pembelajaran yang melibatkan orang lain, dan lingkungan sosial di luar diri individu. Yang menjadi tokoh-tokoh kunci dalam belajar sosial adalah Bandura dan Walter, serta Miller dan Dollard, yang semua pada intinya sama-sama membahas mengenai belajar sosial dalam kaitannya mengenai tingkah laku tiruan, namun ada sedikit perbedaan pandangan di antar mereka mengenai tingkah laku meniru, yang perbedaan tersebut akan kami bahas pada akhir pembahasan makalah ini.
Albert Bandura dan Walter adalah arsistek utama teori belajar sosial versi kontemporer, yang dinamakan teori belajar sosial kognitif (cognitive social learning theory) oleh Walter. Bandura yakin, bahwa kita belajar dengan mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain. Melalui belajar mengamati (modeling atau imitasi), kita secara kognitif menghasilkan perilaku orang lain dan mungkin mengadopsi perilaku ini dalam diri kita sendiri.
Kelebihan belajar observasional telah didokumentasikan dengan baik dalam literatur antropologi (Bandura dan Wlters, 1963, bab 2; Honnidman; hal. 180). Pada salah satu kebudayaan Guatemala, misalnya anak perempuan bisa belajar menenun hanya dengan melihat contoh. Guru menunjukan cara-cara menjalankan mesin kain sementara anak perempuan mengamati. Kemudian bila anak perempuan tersebut sudah merasa siap maka ia akan mengambil alih dan biasanya ia akan menjalankan mesin dengan terampil pada percobaan pertamanya. Dalam istilah Bandura perempuan tersebut menunjukan sikap yang disebut “non-trial learning (tidak ada percobaan belajar)”, ia memperoleh tingkah lakunya secara tiba-tiba hanya melalui pengamatan. Dia tidak perlu mengalami kegagalan karena melalui proses yang membosankan seperti belajar coba-coba dan gagal.
Bila tingkah laku baru diperoleh hanya melalui pengamatan tampaknya belajar seperti itu menggunakan kognitif. Jika misalnya anak perempuan Guatemala melihat gurunya lalu kemudian meniru dengan baik tanpa ada proses latihan, berarti ia hanya tergantung pada pusat representasi tingkah laku yang dibimbing oleh penampilannya sendiri.
Observasi juga mengajarkan pada kita untuk menerima kemungkinan-kemungkinan dari konsekuensi yang akan kita dapatkan dari tingkah laku baru; kita akan memaklumi terhadap apa yang akan terjadi bila kita mencoba. Bandura menyebut proses tersebut dengan vicarious reinforcment. Vicarious reinforcement juga merupakan proses kognitif; kita merumuskan apa yang diharapkan mengenai hasil dari tingkah laku diri kita tanpa lansung melakukan hal tersebut.

1. Komponen Belajar Sosial
Terdapat empat komponen dasar dalam belajar sosial dan sosialisasi yaitu proses atensi, proses retensi, proses motor reproduksi, serta proses reinforcement dan motivasi.
a. Proses Atensi
Pertama-tama kita tidak dapat meniru suatu model jika kita kurang memperhatikan model tersebut. Model sering kali menarik perhatian kita karena bersifat unik, berhasil, bergengsi, mempunyai kelebihan atau kualitasnya menarik. Televisi pada umumnya berhasil dalam menampilkan suatu model karena mempunyai karakteristik dan dapat mempengaruhi hidup kita.
b. Proses Retensi
Sejak kita sering meniru model kadang-kadang kita mnegobservasinya tapi kita harus mempunyai beberapa cara untuk mengingat perilaku kita dalam bentuk simbol. Bandura berpendapat bahwa proses berfikir simbolik merupakan stimulus kontiguitas, yang berasosiasi dengan stimulus yang terjadi. Misalnya kita melihat seseorang menggunakan peralatan baru, katakanlah sebuah latihan. Dia menunjukan kepada kita cara mengikat tali kekang dan seterusnya. Kemudian latihan tersebut membangkitkan hal-hal yang berasosiasi dengan pembayangan dan hal itulah yang menuntun kita untuk bertingkah laku.

c. Proses Motor Reproduksi
Untuk meniru tingkah laku secara tapat seseorang harus mempunyai keterampilan motorik. Misalnya seorang anak laki-laki melihat bapaknya meggunakan gergaji tetapi ternyata ia tidak dapat meniru dengan baik karena fisiknya belum kuat dan ia belum terampil. Melalui observasi saja ia memperoleh pola baru dalam merespon (misalnya bagaimana meletakkan kayu dan dimana menempatkan gergaji) tapi ia tidak memperoleh kemampuan fisik yang baru (misalnya memotong kayu dengan tenaga). Jadi hanya pertumbuhan fisik dan latihan yang diperlukan.
d. Proses Reinforcement dan Motivasi
Bandura, seperti ahli teori belajar kognitif sebelumnya (Tolman, 1948) membedakan antara acquisition dan performance dalam merespon hal-hal yang baru. Seseorang dapat mengamati suatu model dan dengan demikian ia memperoleh pengetahuan baru tapi seseorang tidak dapat menampilkan respon. Misalnya seorang laki-laki mendengar tetangganya berkata kasar secara tidak langsung ia belajar sejumlah kata-kata baru tapi laki-laki tersebut tidak dapat menirunya.

2. Proses Pembelajaran Sosial dan Sosialisasi
Pada bagian ini, kami akan membahas proses-proses yang termasuk ke dalam belajar sosial maupun sosialisasi. Yang termasuk ke dalam proses belajar sosial menurut Robert Baron adalah pembelajaran melalui asosiasi serta pembelajaran melalui observasi. Baik pembelajaran melalui asosiasi maupun belajar melalui observasi keduanya sama-sama dapat membentuk perilaku meniru.

a. Pembelajaran Sosial berdasarkan Asosiasi
Merupakan prinsip dasar psikologi bahwa ketika sebuah stimulus berulang-ulang diikuti oleh stimulus yang lain, stimulus pertama akan segera dianggap sebagai tanda-tanda bagi stimulus yang mengikutinya. Dengan kata lain, ketika stimulus pertama terjadi, seseorang akan menduga stimulus kedua akan segera muncul. Hasilnya, secara bertahap mereka akan memberikan reaksi yang sama pada stimulus pertama seperti reaksi yang mereka tunjukkan pada stimulus kedua, terutama jika stimulus kedua adalah stimulus yang menyebabkan reaksi yang cukup kuat dan otomatis. Sebagai contoh adalah, saat seseorang pertama kali menyalakan jam alarm, yang jam alarm tersebut membunyikan bunyi “klik” sesaat sebelum alarm berbunyi. Saat pertama kali, orang tersebut tidak akan merespon apa-apa saat suara “klik” (sebelum bunyi alarm) terdengar. Namun setelah beberapa hari orang tersebut sudah terbiasa dengan suara “klik” tersebut, maka orang tersebut mungkin akan berespon atau terbangun saat hanya mendengar suara “klik” sebelum ia mendengar suara alarm berbunyi.
Contoh lain mengenai pembelajaran sosial berdasarkan asosiasi adalah saat seorang anak kecil melihat ibunya bermuka masam dan menunjukkan tanda-tanda tidak suka terhadap seorang laki-laki yang berambut gondrong. Awalnya (sebelum melihat ibunya sinis terhadap laki-laki berambut gondrong) anak tersebut bersikap netral terhadap laki-laki yang berambut gondrong, namun ketika ia berulang kali melihat ibunya menunjukkan emosi negatif atau kesinisan saat melihat laki-laki berambut gondrong, maka anak tersebut lama-kelamaan menjadi ikut tidak menyukai seorang laki-laki yang berambut gondrong, dimanapun ia berada. Ketidaksukaan anak tersebut terhadap laki-laki berambut gondrong, dapat dikatakan terjadi karena adanya clasical condisioning, akibat ia berulang kali melihat si ibu selalu sinis apabila melihat seorang laki-laki berambut gondrong, serta anak tersebut mulai belajar untuk tidak suka terhadap laki-laki berambut gondrong, seperti sikap ibunya.Dari sini terlihat perilaku meniru sikap dari seorang anak terhadap ibunya, apabila melihat seorang laki-laki berambut gondrong.

b. Belajar Sosial melalui pengamatan (melalui contoh)
Belajar melalui pengamatan merupakan proses di mana individu mempelajari respon-respon baru dengan cara mengobservasi perilaku orang lain (seorang model) daripada dari pengalaman langsung. Belajar melalui pengamatan terjadi ketika individu mempelajari bentuk tingkah laku atau pemikiran baru melalui observasi terhadap orang lain. Dalam kajian psikologi sosial, pembelajaran melalui observasi memainkan peran yang sangat penting bagi pembentukan sikap.
Belajar melalui pengamatan, seringkali dilakukan oleh seorang anak, karena seorang anak kecil seringkali meniru perilaku orang lain. Sebagai contoh, seorang anak yang melihat orangtuanya membaca buku tiap hari, maka anak tersebut dapat dipastikan akan rajin membaca buku. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa, apabila orang tua ingin mendidik anaknya untuk bertingkahlaku yang positif, maka orang tua harus bertingkahlaku positif pula.
Belajar melalui pengamatan tidak hanya dilakukan oleh anak kecil saja, tetapi juga orang dewasa. Dalam banyak hal di kehidupan sehari-hari, orang dewasa sering kali mempelajari pembelajaran melalui meniru tingkah laku orang lain. Salah satu contoh adalah, saat seseorang yang pertama kali ingin pergi ke Surabaya dengan menggunakan kereta api dari stasiun Gambir. Saat pertama kali, ia sama sekali belum mengetahui segala sesuatu yang harus dilakukan sebelum naik kereta, serta ia belum pernah masuk ke stasiun Gambir. Dalam keadaan demikian, yang dilakukan oleh orang itu adalah dengan meniru yang dilakukan orang lain yang juga ingin pergi (yang diketahuinya dengan membawa koper). Ia memperhatikan dan mengikuti orang tersebut. setelah mengikuti dan memperhatikan, ia mulai mengetahui arah loket tiket kereta, dan ia juga mengetahui bahwa untuk ke Surabaya, pembelian karcis melalui loket nomor 11. setelah membeli tiket, ia mengikuti lagi orang tersebut menuju lantai-3 untuk menunggu kedatangan kereta api, dan seterusnya.
Dari contoh tersebut, maka dapat diketahui bahwa, belajar melalui meniru, sangat diperlukan pula bagi seseorang yang pertama kali berada di suatu tempat yang baru, dengan meniru seseorang yang terbiasa datang ke tempat tersebut. tentu, selain contoh tersebut, masih banyak contoh lainnya yang berkaitan dengan perilaku belajar melalui mengamati dan meniru orang lain.

3. Pandangan Miller-Dollard dan Bandura-Walter terhadap belajar sosial dan tiruan.
Bandura& Walter, serta Miller Dollard merupakan para tokoh dalam teori belajar sosial. Pada dasarnya, mereka sepakat mengenai pengertian dasar dari belajar sosial, namun, mengenai beberapa aspek, terdapat perbedaan pandangan di antara mereka dalam memahami teori belajar sosial, terutama pada perilaku meniru atau imitasi.


Teori Belajar Sosial dan Tiruan dari Miller dan Dollard
Pandangan dasar mereka adalah tingkah laku manusia adalah dipelajari.menurut Miller dan Dollar ada empat prinsip dalam belajar, yaitu dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku-balas (response), dan ganjaran (reward).
Dorongan adalah rangsang kuat yang mendorong organism (manusia, hewan) untuk bertingkah laku. Dorongan yang bersifat biologis seperti lapar, haus, seks, kejenuhan disebut dorongan primer (primary drive) dan menjadi dasar utama untuk motivasi. Sedangkan lapar yang kemudian disosialisasikan menjadi dorongan untuk makan makanan tertentu (roti atau nasi),seks disosialisasikan menjadi hubungan suami-istri dalam perkawinan disebut dorongan sekunder.
Isyarat adalah rangsang yang menentukan bila dan dimana suatu tingkah laku-balas akan timbul dan tingkah laku balas apa yang akan terjadi. Dalam belajar sosial, isyarat yang terpenting adalah tingkah laku orang lain, baik langsung ditunjukkan kepada seseorang tertentu maupun yang tidak. Contoh uluran tangan merupakan isyarat untuk berjabatan tangan.
Menurut miller dan dollard organism mempunyai hierarki bawaan dari tingkah laku–tingkah laku (innate hierarchy of responses). Pada waktu organism pertama kalinya dihadapkan pada suatu rangsang tertentu, maka tingkah laku balas yang timbul didasarkan pada hierarki bawaan tersebut. Baru setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman, maka akan timbul tingkah laku-balas yang sesuai dengan factor-faktor penguat tersebut. Tingkah laku balas yang sudah di sesuaikan dengan factor-faktor penguat tersebut disusun menjadi hierarki resultan (resultant hierarchy of responses). Disinilah pentingnya belajar dengan cara coba dan ralat (trial and error learning). Dalam tingkah laku sosial, belajar coba dan ralat dikurangi dengan belajar tiruan dimana seorang anak tinggal meniru tingkah laku orang dewasa untuk dapat memberikan tingkah laku balas yang tepat sehingga ia tidak perlu membuang waktu untuk belajar dengan coba dan ralat.
Ganjaran menurut miller dan dollard adalah rangsang yang menetapkan apakah suatu tingkah laku balas akan diulang atau tidak dalam kesempatan lain. Ada dua macam ganjaran, yaitu ganjaran primer yang memenuhi dorongan-dorongan primer) dan ganjaran sekunder (yang memenuhi dorongan-dorongan sekunder).
Menurut miller dan dollar ada tiga mekanisme tiruan:
1. Tingkah laku sama (same behavior)
2. Tingkah laku tergantung (matched dependent behavior)
3. Tingkah laku salinan (copying)
Tingkah laku sama
Ini terjadi apabila dua orang bertingkah laku balas sama terhadap rangsang atau isyarat yang sama. Misalanya dua orang berjalan bersamaan ke arah kampus karena mereka satu tujuan/ dua orang naik kereta yang sama karena satu jurusan. Tingkah laku sama ini tidak selalu merupakan hasil tiruan.
Tingkah laku tergantung
Tingkah laku ini timbul dalam hubungan antara dua belah pihak, dimana salah satu pihak lebih unggul dari pihak lain. Dalam hal ini, pihak lain itu akan menyesuaikan tingkah lakunya (match) dan akan tergantung (dependent) kepada pihak pertama.
Tingkah laku tergantung dapat terjadi dalam empat situasi yang berbeda:
a. Tujuannya sama, tetapi tingkah laku balas berbeda. Dalam keadaan ini kalau tingkah laku orang pertama mendapat ganjaran sedangkan ornag kedua tidak, maka orang kedua akan meniru tingkah laku orang pertama.
b. Si peniru dapat ganjaran (ganjaran sekunder) dengan melihat tingkah laku orang lain.
c. Si peniru membiarkan orang yang ditiru untuk melakukan tingkah laku balas terlebih dahulu. Kalau berhasil barulah ditiru.
d. Dalam hal ganjaran terbatas (hanya untuk peniru atau yang ditiru), maka akan terjadi persaingan antar model dan peniru. Peniru akan menirukan tingkah laku model untuk mendapat ganjaran.
Tingkah laku salinan
Tingkah laku si peniru teragantung pada isyarat yang di berikan oleh model, akan tetapi si peniru juga memperhatikan tingkah laku model di masa lalu dan yang akan masa mendatang. Perkiraan tentang tingkah laku model dalam kurun waktu yang relative panjang akan dijadikan patokan oleh si peniru untuk memerbaiki tingkah lakunya sendir dimasa yang akan dating sehingga lebih sesuai dengan tingkah laku model. Miller dan dollard berpendapat bahwa konformitas sosial yang terdapat dalam setiap masyarakat disebabkan oleh tingkah laku salinan ini yang dasarnya adalah dorongan untuk menyalin (drive to copy). Dorongan iini mengandugn kecemasan akan kehilangan pengakuan dari masyarakat dan ganjaran unutk mendapat pengakuan atau pujian dari orang lain.
Teori Proses Pengganti Walters dan Bandura
Teori ini dikemukakan oleh Walters dan Bandura, mereka menyatakan bahwa tingkah laku tiruan merupakan suatu bentuk asosiasi suaru rangsang dengan rangsang lainnya. Penguat memang memperkuat tingkah laku balas, tetapi bukan syarat yang penting dalam proses belajar. Bandura dan Walters menyatakan bahwa jika seseorang melihat suatu rangsang dan ia melihat model beraksi secara tertentu terhadap rangsang itu, maka dalam khayalan orang tersebut terjadi serangkaian symbol yang menggambarkan rangsang tingkah laku balas tersebut. Disini yang penting adalah pengaruh tingkah laku model pada tingkah laku peniru yang menurut Banduran dan Walters ada tiga, yaitu:
a. Efek modeling, dimana si peniru melakukan tingkah laku baru sehingga sesuai dengan tingkah laku model.
b. Efek hambatan dan menghapus hambatan, yaitu tingkah laku-tingkah laku yang tidak sesuai dengan tingkah laku model dihambat timbulnya, sedangkan tingkah laku model dihapuskan hambatan-hambatannya sehingga timbul tingkah laku-tingkah laku yang dapat menjadi nyata.
c. Efek kemudahan, dimana tingkah laku-tingkah laku yang sudah pernah dipelajari peniru lebih mudah muncul kembali dengan mengamati tingkah laku model.
Teori proses pengganti dapat pula menerangkan gejala timbulnya emosi pada peniru sama dengan emosi yang ada pada model. Misalnya sesorang melihat film yang memperlihatkan suatu oprasi. Pasien yang dioprasi dalam film itu (model) digambarkan sedang meringis kesakitan. Maka penonton pun bisa ikut meringis kesakitan.

Pandangan Islam Tentang Belajar Sosial
Dalam pandangan Islam, konsep mengenai belajar sosial, erat sekali kaitannya dengan ajaran islam. Dalam surat al-Alaq ayat 1 disebutkan,

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
Dalam kutipan ayat tersebut, kita sebagai manusia diperintahkan oleh Tuhan untuk membaca (إقرأ), kata (إقرأ) berbentuk fi’il amar yang berarti perintah, dan pada ayat ini adalah perintah Tuhan kepada manusia. Perintah membaca disini bukan hanya membaca buku ataupun kitab Tuhan semata, tetapi (seperti banyak ditafsirkan oleh para mufasir), kita sebagai manusia diperintahkan untuk “membaca” alam raya ini beserta berbagai fenomenanya. Dalam membaca alam raya, berarti kita juga dapat “membaca” dalam kaitannya dengan kehidupan di dunia sosial. ”Membaca” dalam kaitannya dengan kehidupan sosial, bisa juga dengan belajar sosial. Dengan menerapkan konsep belajar sosial, kita dapat dengan mudah memahami orang lain serta kaitannya dengan kehidupan sosial. Dengan demikian, berarti kita telah menjalankan perintah Tuhan untuk “membaca” setiap fenomena dalam kehidupan.
Selain itu, konsep teori belajar sosial, yang berkaitan dengan modeling atau perilaku meniru juga berkaitan dengan ajaran islam mengenai Uswatun Hasanah atau suri tauladan yang baik. Disini berarti, karena manusia mempunyai kecenderungan untuk meniru orang lain, maka hendaklah kita sebagai manusia menjadi contoh atau teladan bagi orang lain, agar apabila orang lain meniru kita, orang tersebut akan meniru hal-hal yang baik dari kita. Begitu juga sebaliknya, dalam meniru atau menjadikan orang lain sebagai contoh atau model, hendaknya kita selalu memilih untuk meniru orang yang dapat dijadikan contoh atau teladan. Hal ini berarti, kita tidak boleh sembarang mencontoh orang, apalagi mencontoh kepada perbuatan jelek dari orang lain. Salah satu contoh meniru yang baik adalah, meniru cara belajar teman yang berprestasi, dan sebaliknya, contoh dari meniru yang tidak baik dan dilarang agama adalah seperti meniru cara teman yang lincah dalam hal menyontek.
Dalam ajaran Islam, seseorang yang dijadikan sebagai suri tauladan sejati adalah Nabi Muhammad Saw. Seperti pada ayat berikut.

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Jadi, sesuai ayat tersebut, kita diharapkan dapat menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai contoh yang baik, karena ia banyak menyebut nama Allah, serta diharapkan juga kita mencontoh segala perbuatan baik Nabi Muhammad Saw, yang telah kita ketahui dan pelajari dalam ajaran islam.

























D A F T A R P U S T A K A
.
Alqur’an
Baron, Robert&Donn Byrne. 2003. Psikologi Sosial (terj. Social Psychology, penerjemah Ratna Djuwita). Jakarta: Erlangga.
L. Freedmen Jonathan dkk. 1994. Psikologi Sosial (terj. Social Psychology, penerjemah Michael). Jakarta: Erlangga.
Nihayah, Zahrotun, Idriyani, Natris, Suralaga, Fadhila. 2006. Psikologi Perkembangan: Tinjauan Psikologi Barat dan Pikologi Islam. Jakata: UIN Press
Wade, Carol. 2008. Psikologi jilid I (terj. Psychology 9th ed, penerjemah Darma Juwono dkk). Jakarta: Erlangga
Santrock, John W. Perkembangan Masa Hidup (terj. Life Span Development). Jakarta: Erlangga
Wirawan, Sarlito. 2003. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press
http://id.shvoong.com

Hakikat Ilmu Antropologi Psikologi

Ilmu antropologi psikologi adalah ilmu yang menjembatani kebudayaan dan kepribadian, yang menjadi fokus dari dua ilmu yang berbeda (antropologi dan psikologi), yang sebenarnya sangat erat hubungannya.
Antropologi dan psikologi adalah subdisiplin ilmu antropologi. Nama subdisiplin ilmu antropologi ini, sebenarnya nama baru dari ilmu yang dahulu dikenal dengan dengan nama Culture dan Personality (kebudayaan dan kepribadian), atau kadang juga disebut Ethno-psychology (psikologi suku bangsa). Subdisiplin ini sejak lahirnya sudah bersifat antardisiplin. Hal ini disebabkan karena bukan saja teori, konsep, serta metode penelitiannya dipinjam dai berbagai disiplin seperti antropologi, psikologi, psikiatri, dan psikoanalisa; melainkan juga para pendirinya berasal dari disiplin yang bermacam-macam, sebelum mereka menjadi ahli antropologi. Mereka itu antara lain adalah Margaret Mead (ahli antropologi), Abram Kardiner (ahli psikiatri), W.H.R. River (ahli psikologi), Erik H. Erikson (ahli psikoanalisa neo freudian), dan lain lain. Berdasarkan tokoh-tokoh yang berasal dari berbagai disiplin ilmu menunjukan bahwa di sanalah ilmu antropologi budaya dan sosial dapat berhubungan dengan ilmu psikologi kepribadian, psikologi perkembangan, ilmu psikiatri, dan psikoanalisa secara sangat akrab dan produktif.
Beberapa peneliti berusaha melakukan penelitian yang berkenaan dengan antropologi psikologi. Menurut Singer penelitian antropologi psikologi dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok permasalahan besar,yaitu:
1. Kelompok hubungan kebudayaan dengan sifat pembawaan manusia (human nature).
2. Kelompok hubungan kebudayaan dengan kepribadian khas kolektif tertentu (typical personality), dan
3. Kelompok hubungan kebudayaan dengan kepribadian individual (individual personality).
Dari ketiga kelompok permasalahan besar itu timbul beberapa pokok permasalahan penelitian lainnya, yaitu:
a. Hubungan antara perubahan kebudayaan dengan perubahan kepribadian, dan
b. Hubungan kebudayaan dengan kepribadian abnormal.

Penelitian Antropologi Psikologi di Indonesia

Penelitian antropologi psikologi di Indonesia sedikitnya dibagi menjadi dua masa, yaitu 1) sebelum perang dunia kedua, dan 2) setelah perang dunia kedua.

1. Masa Sebelum Perang Dunia Kedua
Penelitian antropologi psikologi di Indonesia, telah dimulai jauh sebelum orang di AS dan Inggris (antara 1920-1935) memulainya. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan seorang ahli antropologi Belanda bernama A.W. Niewenhuis terhadap sifat pembawaan manusia daro beberapa suku bangsa di Indonesia. Akan tetapi penelitian antropologi psikologi di Indonesia secara intensif bukanlah dilakukan oleh orang Belanda tersebut, melainkan oleh orang Amerika yang sekaligus merintis antropologi psikologi di negara mereka bahkan juga di dunia. Mereka itu adalah Cora Dubois dan Margaret Mead yang dibantu dengan Gregory Bateson. Tujuan penelitian Margaret Mead dan Gregory Bateson adalah untuk mengetahui kepribadian khas orang Bali, dengan jalan mempelajari cara pengasuhan anak di desa Bayung Gede.

2. Masa Setelah Perang Dunia Kedua
Setelah usai perang dunia kedua, topik akulturasi dan kontak sosial telah mendapat perhatian besar dari para ahli antropologi, terutama agi mereka yang mengadakan penelitian di daerah Pasifik dan Indonesia. Hampir semua kepustakaan di mengenai akulturasi di Indonesia berkesimpulan, fenomena akulturasi di Indonesia adalah juga krisis sosial. Ahli antripologi Belanda, J. Van Baal, misalnya menganggap krisis sosial karena usaha pihak Indonesia untuk menyesuaikan diri mereka dengan zaman baru. Utnuk mencapai itu orang-orang Indonesia harus mengubah dasar pandangan hidup serta dasar cara berfikir kunonya ke yang bersifat modern. Bagi J. Van Baal, proses akulturasi bukan hanya merupakan suatu proses masuknya unsur kebudayaan asing ke dalam kebudayaan pribumi semata-mata, melainkan juga merupakan suatu proses tambahan dan penyesuaian diri kembali dari cara hidup pribumi ke cara hidup modern.
Penelitian antropologi psikologi uang dilakukan ahli antropologi berkebangsaan Indonesia sendiri masih sedikit sekali, namun hasilnya cukup menarik. Dua orang ahli antropologi lulusan Universitas Indonesia misalnya, dalam rangka penulisan skripsi mereka telah mengadakan penelitian di bidang antropologi psikologi.

Gambaran Umum Kepribadian Masyarakat

Linton menyatakan bahwa kepribadian umum adalah sejumlah watak yang kadang-kadang seluruhnya dan ada kalanya hanya sebagian berada dalam jiwa dari sebagian besar warga dari suatu masyarakat. Hal itu di sebabkan karena disebabkan karena selain ditentukan oleh bakatnya sendiri, kepribadian individu juga ditentukan oleh latar belakang kebudayaan dan subkebudayaan dari lingkungan sosial di mana individu itu dibesarkan.
Para ahli antropologi menggunakan beberapa tes psikologi untuk menganalisis dan mendeskripsikan kepribadian umum warga masyarakat, tes yang mereka gunakan adalah tes Roschach dan Thematic Apperception Test (TAT). Metode lain untuk meneliti kepribadian umum warga suatu masyarakat dilakukan dengan mempelajari adat istiadat pengasuhan anak-anak dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Metode ini didasarkan pada konsepsi psikologi bahwa watak orang dewasa antara lain ditentukan oleh cara orang tersebut diasuh ketika ia masih anak-anak. Adat istiadat pengasuhan anak dalam suatu kebudayaan menyebabkan bahwa hampir semua individu dalam kebudayaan tersebut sewaktu kecilnya diasuh dengan cara yang sama. Akibatnya ialah bahwa mereka kelak mengembangkan beberapa ciri watak yang sama. Ciri-ciri watak yang sama pada sebagian besar warga dewasa dalam masyarakat itulah yang merupakan kepribadian yang bersangkutan.

Perkembangan Dewasa Akhir


BAB I
PENDAHULUAN
Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode di mana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Bila seseorang yang sudah beranjak jauh dari periode hidupnya yang terdahulu, ia sering melihat masa lalunya, biasanya dengan penuh penyesalan, dan cenderung ingin hidup pada masa sekarang, mencoba mengabaikan masa depan sedapat mungkin.
Usia enampuluhan biasanya dipandang sebagai garis pemisah antara usia madya dan usia lanjut. Akan tetapi orang sering menyadari bahwa usia kronologis merupakan kriteria yang kurang baik dalam menandai permulaan usia lanjut karena terdapat perbedaan tertentu di antara individu-individu dalam usia pada saat mana usia lanjut mereka mulai.
Karena kondisi kehidupan dan perawatan yang lebih baik, kebanyakan pria dan wanita zaman sekarang tidak menunjukkan tanda-tanda ketuaan mental dan fisiknya sampai usia enam puluh lima, bahkan sampai awal tujuhpuluhan. Karena alasan tersebut, ada kecenderungan yang meningkat untuk menggunakan usia enam puluh lima sebagai tanda mulainya lanjut usia.
Tahap terakhir dalam rentang kehidupan sering dibagi menjadi usia lanjut dini, yang berkisar antara usia enam puluh sampai tujuh puluh dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh sampai akhir kehidupan seseorang. Orang dalam usia enampuluhan biasanya digolongkan sebagai usia tua, yang berarti sedikit lebih tua atau setelah usia madya dan usia lanjut setelah mereka mencapai usia tujuh puluh, yang menurut standar beberapa kamus berarti makin lanjut usia seseorang dalam periode hidupnya dan telah kehilangan kejayaan masa mudanya.     

BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN DEWASA AKHIR
Memasuki lanjut usia merupakan periode akhir dalam rentang kehidupan manusia di dunia ini. Banyak hal penting yang perlu diperhatikan guna mempersiapkan memasuki masa lanjut usia dengan sebaik-baiknya. Kisaran usia yang ada pada periode ini adalah enam puluh tahun ke atas. Ada beberapa orang yang sudah menginjak usia enam puluh, tetapi tidak menampakkan gejala-gejala penuaan fisik maupun mental. Oleh karena itu, usia 65 dianggap sebagai batas awal periode usia lanjut pada orang yang memiliki kondisi hidup yang baik.
Karakteristik
1.      Adanya periode penurunan atau kemunduran. Yang disebabkan oleh faktor fisik dan psikologis.
2.      Perbedaan individu dalam efek penuaan. Ada yang menganggap periode ini sebagai waktunya untuk bersantai dan ada pula yang mengaggapnya sebagai hukuman.
3.      Ada stereotip-stereotip mengenai usia lanjut. Yang menggambarkan masa tua tidaklah menyenangkan.
4.      Sikap sosial terhadap usia lanjut. Kebanyakan masyarakat menganggap orang berusia lanjut tidak begitu dibutuhkan karena energinya sudah melemah. Tetapi, ada juga masyarakat yang masih menghormati orang yang berusia lanjut terutama yang dianggap berjasa bagi masyarakat sekitar.
5.      Mempunyai status kelompok minoritas. Adanya sikap sosial yang negatif tentang usia lanjut.
6.      Adanya perubahan peran. Karena tidak dapat bersaing lagi dengan kelompok yang lebih muda.
7.      Penyesuaian diri yang buruk. Timbul karena adanya konsep diri yang negatif yang disebabkan oleh sikap sosial yang negatif.
8.      Ada keinginan untuk menjadi muda kembali. Mencari segala cara untuk memperlambat penuaan.


Tugas Perkembangan
1.      Menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik. Misalnya adanya perubahan penampilan pada wajah wanita, menggunakan kosmetik untuk menutupi tanda-tanda penuaan pada wajahnya. Pada bagian tubuh, khususnya pada kerangka tubuh, mengerasnya tulang sehingga tulang menjadi mengapur dan mudah retak atau patah.
2.      Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan keluarga.
3.      Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.
4.      Menjalin hubungan dengan orang-orang disekitarnya.
5.      Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.
6.      Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes dan harmonis.
Perkembangan Fisik
Kebanyakan perubahan fisik pada lansia mengalami hal yang sama, misalnya rambut yang memutih, kulit keriput, dan gigi yang tanggal. Pada periode ini penurunan fungsi organ tampak jelas.
Otak dan sistem syaraf
Sistem syaraf berubah dengan tanda adanya penurunan kecepatan belajar sesuatu yang diikiti dengan menurunnya kemampuan intelektual. Beberapa peneliti memperkirakan 5 sampai 10% neuron akan berhenti tumbuh sampai kita mencapai usia 70 tahun, setelah itu hilangnya neuron menjadi dipercepat. Aspek yang signifikan dari proses penuaan adalah pada neuron-neuron yang tidak mengganti dirinya sendiri yang menyebabkan hilangnya sebagian kecil kemampuan pada masa dewasa akhir.
Isi Perut
Mengalami perubahan bentuk karena berhentinya pertumbuhan khususnya ditandai dan diketahui lewat limpa, hati, alat reproduksi, jantung, paru-paru, pankreas, dan ginjal. Perubahan yang paling besar terjadi pada jantung dengan tanda bertambahnya ukuran jantung sesuai dengan bertambahnya usia dan terus tumbuh bahkan sampai setelah tubuh berhenti bekerja.


Perubahan Fungsi Fisiologis
Berkurangnya tingkat metabolisme dan menurunnya kekuatan otot-otot juga mengakibatkan pengaturan suhu badan menjadi sulit. Selain itu, pada usia lanjut terjadi penurunan dalam jumlah waktu tidur yang diperlukan dan kenyenyakan tidurnya. Orang usia lanjut pada umumnya menderita gangguan susah tidur (insomnia). Lalu, perubahan dalam pencernaan mungkin merupukan perubahan yang paling kelihatan dalam fungsi pengaturan pencernaan. Kesulitan dalam makan sebagian diakibatkan pada gigi yang tanggal yang merupakan gejala umum bagi orang usia lanjut dan juga karena daya penciman dan perasa yang menjadi kurang tajam. Sehingga menyebabkan jenis makanan yang paling lezat menjadi terasa tidak enak.
Perkembangan sensori
Perubahan sensori fisik pada masa dewasa akhir melibatkan semua indera pada manusia. Kebanyakan perubahan mulai terlihat pada dewasa madya tapi lebih terlihat jelas pada masa dewasa akhir. Pada usia lanjut fungsi seluruh organ pengindraan kurang mempunyai sensitifitas dan efisiensi kerja dibandingkan yang dimiliki oleh orang yang lebih muda. Lebih lanjut lagi, pemakaian kaca mata dan alat bantu dengar hampir secara sempurna dapat mengatasi kerusukan indera melihat atau kehilangan pendengaran.
Sistem peredaran darah
Tidak lama berselang terjadi penurunan jumlah darah yang dipompa oleh jantung dengan seiringnya pertambahan usia sekalipun pada orang dewasa yang sehat. Bagaimanapun, kita mengetahui bahwa ketika sakit jantung tidak muncul, jumlah darah yang dipompa sama tanpa mempertimbangakan usia pada masa dewasa. Kenyataannya para ahli penuaan berpendapat bahwa jantung yang sehat dapat menjadi lebih kuat selama kita menua dengan kapasitas meningkat bukan menurun (Fozard, 1992).
Meningkatnya tekanan darah yang terjadi akibat bertambah kerasnya dinding pembuluh arteri aorta dan pusat merupakan gejala umum bagi orang yang berusia lanjut.
Sistem pernafasan
Kapasitas paru-paru akan menurun pada usia 20 hingga 80 tahun sekalipun tanpa penyakit. Paru paru kehilangan elatisitasnya, dada menyusut, dan diafragma melemah. Meskipun begitu, berita baiknya adalah bahwa orang dewasa lanjut dapat memperbaiki fungsi paru paru dengan latihan-latihan memperkuat diafragma.
Seksualitas
Penuaan menyebabkan beberapa perubahan penurunan dalam hal seksualitas manusia, dan terdapat perubahan yang lebih banyak pada laki laki dari pada perempuan. Rubin (Harlock,...) mengatakan bahwa hubungan seksual tidak mungkin berhenti secara otomatis pada usia berapapun. Mereka yang tidak melakukan hubungan seksual pada usia lanjut, biasanya disebabkan oleh penyakit yang diderita pasangannya.
Kesehatan
Semakin tua, kemungkinan terkena beberapa penyakit atau penurunan kondisi tubuh semakin meningkat. Penyakit yang biasanya menyerang usia lanjut adalah radang sendi dan osteoporosis.
Perkembangan Kognitif
Fungsi Kognitif
Perdebatan tentang Penurunan Intelegensi
Isu mengenai penurunan intelektual selama tahun-tahun dewasa merupakan suatu hal yang provokatif. David Weschler (1972), yang mengembangkan skala intelegensi Weschler, menyimpulkan bahwa masa dewasa dicirikan dengan penurunan intelektual karena adanya proses penuaan yang dialami setiap orang. Namun, menurut Horn (1980) ada beberapa kemampuan yang menurun (kecerdasan yang mengalir) sementara kemampuan lainnya tidak (kecerdasan yang mengkristal)
Kecepatan Memproses, Mengingat, Dan Memecahkan Masalah
Sekarang telah diterima secara luas bahwa kecepatan memproses informasi mengalami penurunan pada masa dewasa akhir. Ada juga beberapa bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang dewasa lanjut kurang mampu mengeluarkan kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatannya dan secara efektif menggunakan imajinasi mentalnya di dalam ingatan.
Meskipun kecepatan memproses informasi kita secara pelan-pelan menurun pada masa dewasa akhir, namun terdapat variasi individual di dalam kecakapan ini. Dan ketika penurunan itu terjadi, hal ini tidak secara jelas menunjukkan pengaruhnya terhadap kehidupan kita di dalam beberapa segi yang substansial.
Penggantian pengalaman mungkin bisa menjelaskan bagaimana orang-orang yang lebih tua mempertahankan keterampilan-keterampilan mereka pada beberapa wilayah-wilayah kognitif, diantaranya ingatan dan pemecahan masalah. Jika kita mengamati ingatan dan pemecahan masalah di dalam dunia nyata, kita mungkin menemukan sedikit penurunan pada masa dewasa akhir.
Pendidikan, Pekerjaan, dan Kesehatan
Pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan adalah tiga komponen yang paling berpengaruh dalam fungsi kognitif dari orang-orang dewasa lanjut. Pada saat ini mereka telah memperoleh pendidikan yang lebih baik. Pendidikan memiliki korelasi positif dengan skor-skor pada tes-tes intelegensi. Orang-orang dewasa lanjut mungkin melanjutkan pendidikan untuk sejumlah alasan.
Pengalaman kerja menekankan pada orientasi kognitif. Peningkatan penekanan pada proses informasi di dalam pekerjaannya mungkin mempertinggi kecakapan intelektual individu. Sedangkan, kesehatan yang buruk berkaitan dengan tes-tes intelegensi pada masa dewasa akhir. Olahraga terkait dengan perbaikan fungsi kognitif diantara orang-rang dewasa usia lanjut.
Fase Penurunan
Hipotesis fase penurunan (terminal drop hypotesis), yang menyatakan bahwa kematian didahului oleh suatu pengurangan fungsi kognitif kira-kira pada suatu periode 5 tahun pertama sebelum kematian. Jadi jarak dari kematian pada suatu populasi yang kemudian meninggal seharusnya berkorelasi dengan kemampuan pada tes-tes fungsi kognitif yang diberikan pada mereka sepanjang periode kritis 5 tahun.
Pada penelitian-penelitian yang membandingkan orang-orang dewasa lanjut dan dewasa muda yang mungkin berada pada periode 5 tahun dari kematiannya. Penyakit-penyakit kronis yang dialami orang-orang dewasa lanjut ini mungkin dapat menurunkan motivasi, kewaspadaan serta energi untuk menunjukkan kompetensi mereka ketika menjalankan tes fungsi kognitif.
Kebijaksanaan
Kebijaksanaan merupakan pengetahuan seseorang ahli mengenai aspek-aspek praktis dari kehidupan yang memungkinkan munculnya keputusan yang bermutu mengenai hal-hal yang penting dalam kehidupan. Satu aspek dari kebijaksanaan yang terlihat meningkat saat orang beranjak tua adalah ia menjadi lebih fleksibel di dalam mengubah dan mengakomodasi tujuan-tujuan hidup terhadap keadaan kehidupan yang baru dan kondisi-kondisi pribadi yang baru (Brandstadter & Renner, 1990). Orang-orang dewasa lanjut seperti halnya mereka yang lebih muda lebih cenderung mencari kepuasan dari pada mencari kesenangan yang sukar diperoleh (Dittman-Kohli,1992)
Penalaran Mekanik Dan Penalaran Pragmatis
Penalaran mekanik merupakan perangkat keras dari pikiran dan merefleksikan rancangan neurofisiologis dari otak yang berkembang secara evolutif. Pada tingkat operasional, penalaran kognitif melibatkan kecepatan dan ketepatan memproses, termasuk masukan sensoris, ingatan visual dan motorik, pembedaan, perbandingan, dan pengkategorisasian.  Karena pengaruh yang kuat dari faktor biologis, hereditas, dan kesehatan pada penalaran mekanik, maka penurunan penalaran mekanik menjadi mungkin seiring dengan proses penuaan.
Sebaliknya penalaran pragmatis (cognitive pragmatis) merujuk pada dasar kultural ”perangkat lunak” dari pikiran. Pada tingkat operasional, penalran pragmatis termasuk keterampilan membaca, menulis, berbahasa, kualifikasi pendidikan, keterampilan-ketrampilan profesional, dan juga tipe-tipe pengetahuan mengenai diri dan keterampilan-ketrampilan hidup yang membantu kita untuk menguasai dan mengatasi kehidupan.
Karena pengaruh yang kuat dari kebudayaan, terhadap penalaran pragmatis maka peningkatan penalaran pragmatis pada usia lanjut menjadi mungkin. Penalaran ini akan tetap meningkat pada usia lanjut meskipun dengan adanya penurunan pada penalaran mekanik.


Pekerjaan dan Pensiun
Pekerjaan
Pria lanjut usia biasanya lebih tertarik pada jenis pekerjaan yang statis daripada pekerjaan yang bersifat menantang,. Akibatnya, mereka lebih puas pada pekerjaannya daripada orang yang lebih muda. Beberapa orang tetap mempertahankan produktivitasnya sepanjang kehidupannya. Orang-orang dewasa lanjut ini mungkin mengikuti agenda pekerjaan yang melelahkan bagi pekerja yang lebih muda.
Pensiun
Robert Atchley (1976) menggambarkan 7 fase pensiun yaitu:
-          Fase jauh (remote). Kebanyakan individu melakukan sesuatu untuk mempersiapkan fase pensiun
-          Fase dekat (near), pekerja mulai berpartisipasi dalam program pra-pensiun
-          Fase bulan madu, mereka melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan sebelumnya dan menikmati aktivitas dengan waktu luang yang lebih banyak.
-          Fase kecewa, orang berusia lanjut menyadari bahwa bayangan pra-pensiun mereka tentang fase pensiun tidak realistis.
-          Fase reoreientasi, mulai mengembangkan alternatif kehidupan yang lebih realistis
-          Fase stabil, sudah memutuskan apa yang mereka pilih dan bagaimana menjalani pilihan tersebut.
-          Fase akhir, peran mereka sudah bergantung karena mereka sudah tidak dapat berfungsi secara mandiri.
Kesehatan Mental
Keseahtan mental tidak hanya dilihat dari ketidakhadiran gangguan-gangguan mental, berbagai kesulitan dan frustasi, tetapi juga merefleksikan kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan dengan cara efektif dan memuaskan.


Depresi
Depresi yang dimaksud adalah suatu gangguan suasana hati dimana individu merasa sangat tidak bahagia., kehilangan semangat, dan bosan. Orang yang menderita depresi seperti ini mudah kehilangan stamina, tidak merasa sehat, nafsu makan kurang, lesu, dan kurang bergairah.
Kecemasan
Gangguan kecemasan adalah gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (seperti gelisah dan gemetar), hiperaktivitas (pusing, jantung berdebar, atau berkeringat), dan pikiran yang mencemaskan. Penelitian membuktikan bahwa orang usia lanjut memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan kecemasan daripada depresi (George dkk, 1988)
Perkembangan Sosio-Emosional
Fase Akhir Erikson
Erik Erikson (1968) memandang tahun-tahun akhir kehidupan merupakan suatu masa untuk melihat kembali apa yang telah kita lakukan dengan kehidupan kita. Menurut teori perkembangan psikososial Erikson, periode dewasa akhir seharusnya telah mencapai integritasnya. Integritas disini diartikan sebagai satu tahap dimana individu yang berada pada periode dewasa akhir merasakan dan mengalami kepuasan dalam menjalani kehidupannya. Jika usia lanjut tidak dapat mencapai integritas maka akan merasakan keputusasaan, penyesalan terhadap apa yang ia perbuat atau yang tidak dapat diperbuat selama hidupnya sehingga merasa takut menghadapi kematian.
Stereotipe pada Orang Usia Lanjut
Orang berusia lanjut mungkin tidak dipekerjakan untuk pekerjaan yang baru atau dikeluarkan dari pekerjaan yang lama karena dianggap terlalu kaku. Mereka mungkin ditolak secara sosial, karena dipandang sudah pikun dan membosankan. Orang usia lanjut mungkin disingkirkan dari kehidupan keluarga karena dipandang sebagai sosok yang sakit dan parasit. Persepsi-persepsi ini memang sangat tidak berkeprimanusiaan, tetapi seringkali terjadi secara nyata dan menyakitkan.
Kepuasan Hidup
Kepuasan hidup adalah kesejahteraan psikologis secara umum atau kepuasan terhadap kehidupan secara keseluruhan. Kepuasan hidup mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada orang dewasa lanjut. Pendapatan, kesehatan, suatu gaya hidup yang aktif, serta jaringan pertemanan dan keluarga menjadi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan hidup pada usia lanjut.
Partisipasi Sosial
Dengan makin bertambahnya usia seseorang, maka partisipasi sosialnya semakin berkurang dan cakupannya juga menyempit. Terdapat banyak alasan mengapa partisipasi seseorang dalam kegiatan sosial menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Alasan kesehatan menurun, yang secara umum biasa digunakan alasan pokok.   
Kerawanan Sosial (social hazard)
Ada beberapa kerawanan yang khas pada usia lanjut yaitu :
·         Menerima adanya stereotipe tentang usia lanjut yang diberikan masyarakat. Hal ini membuat para orang usia lanjut merasa inferior.
·         Perasaan tak berdaya dan inferior yang disebabkan oleh perubahan fisik dan penurunan daya tarik maupun karena perasaan ditolak oleh masyarakat.
·         Tidak mau melepaskan atau mengganti gaya hidup yang lama.
·         Menyadari bahwa mereka mulai menjadi pelupa, sulit mempelajari hal-hal baru lalu menarik diri dari aktifitas-aktifitas yang bersifat kompetitif.
·         Perasaan bersalah karena tidak menyumbangkan tenaga lagi bagi masyarakat.
·         Pendapatan yang berkurang mengurangi kesempatan untuk kegiatan-kegiatan diwaktu luang.
·         Kurangnya kontak sosial karena kesehatan yang tidak memungkinkan atau keadaan finansial yang terbatas.   
PERSPEKTIF ISLAM
Fase lanjut usia yang dalam islam disebut arzal al-‘umr atau disebut juga syuyukh, yang berarti fase ketika melewati masa puncak kekuatan fisik lalu menurun kembali menjadi tidak berdaya. Pada fase ini pula ditandai dengan menurunnya kemampuan memori sehingga tak mampu lagi mengingat secara baik berbagai informasi yang ernah diperoleh dan disimpan sebelumnya.
Tugas perkembangan menurut pandangan Islam:
1.      Terinternalisasi sifat-sifat rasul yang agung, sebab Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul ketika usianya menginjak 40 tahun. Sifat-sifat yang dimaksud seperti jujur, dapat dipercaya, menyampaikan kebenaran, dan memiliki kecerdasan spiritual.
2.      Meningkatkan kesadaran akan peran sosial dengan niatan amal salih.
3.      Meningkatkan ketakwaan dan kedekatan kepada Allah SWT, melalui perluasan diri dengan mengamalkan ibadah-ibadah sunnah.
4.      Mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi kematian.
Pada fase ini, seseorang terkadang tidak mampu mengaktualisasikan potensinya, bahkan kesadarannya menurun atau bahkan menghilang. Kondisi ini disebabkan oleh menuanya syaraf-syaraf dan organ-organ tubuh lainnya, sehingga terjadilah kepikunan (al-haram).ketika orang berusia lanjut mengalami kepikunan maka ia terbebas dari tuntutan agama seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lain.
















BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan
Ada pebedaan perubahan individual yang menonjol sebagai akibat dari usia lanjut, dengan penuaan yang bersifat fisik mendahului penuaan psikologis yang merupakan kejadian yang bersifat umum. Perubahan fisik termasuk perubahan dalam penampilan, perubahan yang berada pada sistem organ dalam, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan pada sistem syaraf,  perubahan penampilan, dan kemampuan seksual. Perubahan yang bersifat sangat umum terhadap kemampuan motorik, termasuk perubahan kekuatan fisik dan kecepatan dalam bergerak, bertambahnya waktu yang diperlukan untuk belajar keterampilan, konsep dan prinsip baru, dan ada kecenderungan sikapnya canggung dan kikuk. Sementara itu banyak hal- hal yang menyebabkan perubahan kemampuan mental, kurangnya rangsangan lingkungan dan kurang motivasi terhadap kesadaran mental yang ada untuk membedakan kondisi yang paling bersifat umum dan paling serius.


DAFTAR PUSTAKA

Santrock, John W., 1995, Life-Span Development, Jakarta: Erlangga.
Hurlock, Elizabeth B., 1980, A Life-Span Approach, Jakarta: Erlangga
Zahrotun. Suralaga, Fadhilah. Idriyani, Natris. 2006. Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press
 

Kursus Toefl Online Murah

About Me

Foto saya
Mahasiswa Magister Akuntansi di Universitas Mercu Buana, Karyawan di PT. Summarecon Agung, Tbk, Alumni STIE Indonesia'07, Psikologi UIN Jakarta '08,

Translator