Total Visitors

My Status

Follower

Persepsi Sosial


  1. Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh pengindraan. Pengindraan adalah merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indra. Namun proses tersebut tidak berhenti di situ saja, pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses pengindraan, dan proses pengindraan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Proses pengindraan terjadi setiap saat, yaitu pada waktu individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indra. Alat indra merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Branca, 1964; Woodworth dan Marquis, 1957).
Stimulus yang mengenai individu itu kemudian di organisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang di indranya itu. Proses inilah yang dimaksud dengan persepsi. Jadi stimulus diterima alat indra, kemudian melalui proses persepsi sesuatu yang diindra tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpretasikan (Davidoff, 1981). Disamping itu menurut Maskowitz dan Orgel (1969) persepsi itu merupakan proses yang intergrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa persepsi itu merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organism atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang intergrated dalam diri individu. Karena merupakan aktifitas yang integrated, maka seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam persepsi itu.
Dengan persepsi individu dapat menyadari, dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya, dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan (Davidoff, 1981). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa dalam persepsi stimulus dapat dating dari luar diri individu, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan. Bila yang dipersepsi dirinya sendiri sebagai objek persepsi, inilah yang disebut persepsi diri (self-perception). Karena dalam persepsi itu merupakan aktifitas yang intergrated, maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berfikir, kerangka acuan, dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu akan ikut berperan dalam persepsi tersebut. Berdasarkan atas hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam persepsi itu sekalipun stimulusnya sama, tetapi karna pengalaman tidak sama, kemampuan berfikir tidak sama, kerangka acuan tidak sama, ada kemungkinan hasil persepsi antara individu satu dengan individu yang lain tidak sama. Keadaan tersebut memberikan gambaran bahwa persepsi itu memang bersifat individual (Davidoff, 1981).
Menurut Brehm dan Kassin (1989), persepsi sosial adalah penilaian-penilaian yang terjadi dalam upaya manusia memahami orang lain. Tentu saja sangat penting, namun bukan tugas yang mudah bagi setiap orang. Tinggi, berat, bentuk tubuh, warna kulit, warna rambut, dan warna lensa mata, adalah beberapa hal yang mempengaruhi persepsi sosial. Contohnya di Amerika Serikat, wanita berambut pirang dinilai sebagai seorang yang hangat dan menyenangkan.

               Brems & Kassin (dalam Lestari, 1999) mengatakan bahwa persepsi sosial memiliki beberapa elemen, yaitu:
a. Person, yaitu orang yang menilai orang lain.
b. Situasional, urutan kejadian yang terbentuk berdasarkan pengalaman orang untuk meniiai sesuatu.
c. Behavior, yaitu sesuatu yang di lakukan oleh orang lain. Ada dua pandangan mengenai proses persepsi, yaitu:
1.) Persepsi sosial, berlangsung cepat dan otomatis tanpa banyak pertimbangan orang membuat kesimpulan tentang orang lain dengan cepat berdasarkan penampilan fisik dan perhatian sekilas.
2.) Persepsi sosial, adalah sebuah proses yang kompleks, orang mengamati perilaku orang lain dengan teliti hingga di peroleh analisis secara lengkap terhadap person, situasional, dan behaviour.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi suatu proses aktif timbulnya kesadaran dengan segera terhadap suatu obyek yang merupakan faktor internal serta eksternal individu meliputi keberadaan objek, kejadian dan orang lain melalui pemberian nilai terhadap objek tersebut. Sejumlah informasi dari luar mungkin tidak disadari, dihilangkan atau disalahartikan. Mekanisme penginderaan manusia yang kurang sempurna merupakan salah satu sumber kesalahan persepsi (Bartol & Bartol, 1994).
Dalam usaha menginterpretasi oranglain sering digunakan dimensi-dimensi tertentu. Wrightman (1981) mengemukakan ada 6 dimensi pokok, yaitu:
1.      Dapat dipercaya – tidak dapat dipercaya
2.      Rasional – tidak rasional
3.      Altruis – orientasi diri (selfness)
4.      Independen – conform dengan kelompok
5.      Variatif – kesamaan
6.      Kompleksitas – kesederhanaan
Melalui perkembangan dan pengalaman, orang membangun konsep kepribadian implicit (implicit personality theory), yaitu asumsi-asumsi adanya sifat-sifat tertentu yang berkorelasi dengan sifat lain. Orang yang memiliki kecenderungan demikian disebut psikolog naïf.
Pembentukan Kesan / Persepsi
Pengetahuan tentang orang-orang tertentu dan kaitannya dengan atribut tertentu sering diistilahkan sebagai prototype. Hasil prototype memunculkan adanya stereotype, yaitu pemberian atribut tertentu pada sekelompok orang tertentu. Contoh: orang Indonesia ramah, orang Amerika individualistis.
Dalam pembentukan kesan, stereotype sulit diabaikan begitu saja. Stereotype akan membatasi persepsi dan komunikasi, stereotype juga bisa dimanfaatkan untuk membina hubungan yang lebih lanjut. Pada konsep kepribadian implicit, stereotype juga akan memunculkan illusory correlation, yaitu mengaitkan secara berlebihan antara satu karakteristik dengan karakteristik yang lain secara general.


Kategori Sosial
Dalam pembentukan kesan terhadap oranglain, ada kecenderungan untuk secepatnya mengkategorika orang tersebut ke dalam suatu cirri tertentu. Penilaian yang cepat ini (snap jugdment) memiliki arti penting dalam proses pembentukan kesan selanjutnya. Contoh yang sering ditemu adalah munculnya halo efek. Yang disebut gejala self-fulfilling prophecy adalah pembuatan kategorisasi tertentu dengan diwarnai harapan berdasarkan asumsi penilai.

  1. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh pada Persepsi
  2. Kesan yang terbentuk dalam pikiran seseorang di saat pertama kali berjumpa dengan orang lain ditentukan oleh berbagai hal, yaitu :
    1. Ciri ciri penampilan fisik ( fisikal attractiveness ) meliputi :
                                          i.    Penampilan fisik akan menentukan bagaimana persepsi kita terhadap orang lain. Penampilan fisik ini berakar pada :
1.    Wajah (menarik / tdk menarik)
2.    Bgm cara berpakaian, bahan, model, cara memakainya
3.    Postur tubuh, make up, potongan gaya rambut
4.    Assesories yang dikenakan
    1. Ciri ciri sosial demografik (social demographic characteristic ) meliputi :
                                          i.    Jenis Kelamin : umumnya perempuan dinilai lebih rendah kemampuannya dibanding laki-laki dalam pekerjaan tertentu. (lihat penelitian Goldberg 1968).
                                        ii.    Suku / Ras / Etnis : Suatu hari kita diminta unt bertemu dengan orang yang bernama Situmorang yang berasal dari Batak karo, dan pada hari lain kita diminta bertemu dengan Widodo Rahardjo yang berasal dari Solo Jawa tengah. Biasanya sebelum kita bertemu kita membayangkan seperti apa sifat/karakter rang yang akan kita jumpai. Dalam persepsi kita ada perbedaan sifat antra orang yang berbeda suku.
                                       iii.    Status Sosial Ekonomi meliputi : Social economic performance (penampilan berdasar persepsi status sosial ekonomi) sering menjebak penilaian terhadap orang lain). Social economic performance ini biasanya dilihat/dinilai dari penampilan luaran. Mis, tongkrongannya, style pergaulannya, fashion, assesories, pekerjaan dll.
    1. Komunikasi non verbal ( non communication verbal skill management ) : Kesan terhadap orang lain ikut ditentukan oleh komunikasi non verbal seperti :
                                          i.    Ekpresi wajah (wajah adalah ekpresi kejiwaan)
                                        ii.    Gerakan tubuh/tangan/ gerak mata
                                       iii.    Intonasi suara
                                       iv.    Kontak pandangan mata
Dari komunikasi non verbal kita bisa menarik kesan tentang kondisi emosi, watak kepribadian dan kejujuran seseorang
Didepan telah dipaparkan bahwa apa yang ada dalam diri individu akan dipengaruhi dalam individu mengadakan persepsi, ini merupakan faktor internal. Di samping itu masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi dalam proses persepsi, yaitu faktor stimulus itu sendiri dan faktor lingkungan dimana persepsi itu berlangsung, dan ini merupakan faktor eksternal. Stimulus dan lingkungan sebagai faktor eksternal dan individu sebagai faktor internal saling berinteraksi dalam individu mengadakan persepsi.
Agar stimulus dapat dipersepsi, maka stimulus harus cukup kuat, stimulus harus melampaui ambang stimulus, yaitu kekuatan stimulus yang minimal tetapi sudah dapat menimbulkan kesadaran, sudah dapat dipersepsi oleh individu. Kejelasan stimulus  akan banyak berpengaruh dalam persepsi. Stimulus yang kurang jelas, stimulus yang berwayuh arti, akan berpengaruh dalam ketepatan persepsi. Bila stimulus itu berwujud benda-benda bukan manusia, maka ketepatan persepsi lebih terletak pada individu yang mengadakan persepsi, karna benda-benda yang di persepsi tersebut akan berbeda bila yang dipersepsikan itu manusia.
Mengenai keadaan individu yang dapat mempengaruhi hasil persepsi dating dari dua sumber, yaitu yang berhubungan dengan segi kejasmanian, dan yang berhubungan dengan segi psikologis. Bila system fisiologisnya terganggu, hal tersebut akan berpengaruh dalam persepsi seseorang. Sedangkan segi psikologis seperti telah dipaparkan di depan, yaitu antara lain mengenai pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir, kerangka acuan, motivasi akan berpengaruh pada seseorang dalam mengadakan persepsi.
Sedangkan linkungan atau situasi khususnya yang melatar belakangi stimulus juga akan berpengaruh dalam persepsi, lebih-lebih bila objek persepsi adalah manusia. Objek dan lingkungan yang melatarbelakangi objek merupakan kebulatan atau kesatuan yang sulit dipisahkan. Objek yang sama dengan situasi sosial yang berbeda, dapat menghasilkan persepsi yang berbeda.
  1. Persepsi Sosial
Telah dipaparkan didepan berkaitan dengan persepsi objek yang dipersepsi dapat berada diluar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat berada di dalam diri orang yang mempersepsi. Dalam mempersepsi diri sendiri orang akan dapat melihat bagaimana keadaan dirinya sendiri, orang akan dapat mengerti bagaimana keadaan dirinya sendiri, orang dapat mengevaluasi tentang dirinya sendiri.
Bila objek persepsi terletak diluar orang yang mempersepsi, maka objek persepsi dapat bermacam-macam, yaitu dapat berwujud benda-benda, situasi, dan juga dapat berwujud manusia. Bila objek persepsi berwujud benda-benda disebut persepsi benda (things perception) atau juga disebut non-social perception, sedangkan bila objek persepsi berwujud manusia atau orang disebut persepsi sosial atau social perception (Heider. 1958). Namun disamping istilah-istilah tersebut khususnya mengenai istilah social perception masih terdapat istilah-istlah lain yang digunakan. Yaitu persepsi orang atau person perception (Secord dan Backman.1964), juga istilah person cognitionI atau interpersonal perception. Yang kurang dapat mendukung istilah social perception dalam pengertian person perception memberikan alasan bahwa karena persepsi sosial menyangkut persepsi yang berkaitan dengan variable-variabel social, sehingga ini memberikan pengertian yang lebih luas dari pada pengertian person perception (Tagiure dalam lindzey dan aronsome 1975).
Dalam individu mempersepsikan benda-benda mati bila dibandingkan dengan mempersepsikan manusia, terdapat segi-segi persamaan disamping segi-segi perbedaan adanya persamaan bila dilihat bahwa manusia atau orang itu dipandang sebagai benda fisik seperti benda-benda fisik lainnya yang terikat pada waktu dan tempat, pada dasarnya tidak berbeda. Namun karena manusia bukan semata-mata bukan hanya benda fisik melulu, tetapi mempunyai kemampuan-kemampuan yang tidak dipunyai oleh benda fisik lainnya, maka hal ini akan membawa perbedaan antara persepsi benda-benda dengan mempersepsi manusia (Morgan, dkk. 1984).
Mempersepsi seseorang, individu yang dipersepsi itu mempunyai kemampuan-kemampuan, perasaan, harapan walaupun kadarnya berbeda seperti halnya pada individu yang mempersepsi. Orang yang dipersepsi dapat berbuat sesuatu terhadap orang yang mempersepsi, sehingga kadang-kadang atau justru sering hasil persepsi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Orang yang dipersepsi dapat menjadi teman, namun sebaliknya juga dapat menjadi lawan dari individu yang yang mempersepsi. Hal tersebut tidak akan dijumpai bila yang dipersepsi itu bukan manusia atau orang (Tagiuri dan Petrullo, 1958). Ini berarti bahwa orang yang dipersepsi dapat memberikan pengaruh terhadap orang yang mempersepsi.
Persepsi sosial merupakan suatu proses seseorang untuk mengetahui, mempersepsikan, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, tentang sifat-sifatnya, kualitasnya dan keadaan yang lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang dipersepsi (Tagiuri dalam Lindzey dan Aronson, 1975). Namun demikian seperti telah dipaparkan di depan, karena yang dipersepsi itu manusia seperti halnya yang mempersepsi, maka objek persepsi dapat memberikan pengaruh kepada orang yang mempersepsi. Dengan demikian dapat dikembangkan dalam mempersepsi manusia atau orang (person) adanya dua pihak yang masing-masing yang mempunyai kemampuan-kemampuan, perasaan-perasaan, harapan-harapan, pengalaman-pengalaman tertentu yang berbeda satu dengan yang lain, yang akan berpengaruh dalam orang mempersepsi manusia atau orang tersebut.
Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat ikut berperan dan dapat pberpengaruh dalam mempersepsi manusia, yaitu (1) keadaan stimulus, dalam hal iniberujud manusia yang akan dipersepsi; (2) situasi atau keadaan sosial yang melatarbelakangi stimulus; dan (3) keadaan orang yang mempersepsi. Walaupun stimulus personnya sama, tetapi kalau situasi sosial yang melatarbelakangi stimulus person berbeda, akan berbeda hasil persepsinya (Tagiuri dan petrullo, 1958).
Pikiran, perasaan, kerangka acuan, pengalaman-pengalaman, atau dengan kata lain keadaan pribadi orang yang mempersepsi akan berpengaruh dalam seseorang mempersepsi orang lain. Hal tersebut disebabkan karena persepsi merupakan aktifitas yang integrated (Moskowitz dan Orgel, 1969). Bila orang yang dipersepsi atas dasar pengalaman merupakan seorang yang menyenangkan bagi orang yang mempersepsi, akan lain hasil persepsinya bila orang yang dipersepsi itu memberikan pengalaman yang sebaliknya. Demikian pula dengan aspek-aspek lain yang terdapat dalam diri orang yang mempersepsi.
Demikian pula situasi sosial yang melatarbelakangi stimulus person juga akan ikut berperan dalam hal mempersepsi seseorang. Bila situasi sosial yang berlatarbelakangi berbeda, hal tersebut akan membawa perbedaan hasil pertsepsi seseorang. Orang yang bisa bersikap keras, tetapi karena situasi sosialnya tidak memungkinkan untuk menunjukkan kekerasannya, hal tersebut akan mempengaruhi dalam seseorang berperan sebagai stimulus person. Keadaan tersebut dapat mempengaruhi orang yang mempersepsinya. Karena itu situasi sosial yang melatarbelakangi stimulus person mempunyai peran yang penting dalam persepsi, khususnya persepsi sosial.                   
Teori-teori Atribusi (Labelling)
Ada 3 teori atribusi, yaitu:
1.      Theory of Correspondent Inference (Edward Jones dan Keith Davis)
Apabila perilaku berhubungan dengan sikap atau karakteristik personal, berarti dengan melihat perilakunya dapat diketahui dengan pasti sikap atau karakteristik orang tersebut. Hubungan yang demikian adalah hubungan yang dapat disimpulkan (correspondent inference).
Bagaimana mengetahui bahwa perilaku berhubungan dengan karakteristiknya?
a.     Dengan melihat kewajaran perilaku. Orang yang bertindak wajar sesuai dengan keinganan masyarakat, sulit untuk dikatakan bahwa tindakannya itu cerminan dari karakternya.
b.     Pengamatan  terhadapan perilaku yang terjadi pada situasi yang memunculkan beberapa pilihan.
c.     Memberikan peran berbeda dengan peran yang sudah biasa dilakukan. Misalnya, seorang juru tulis diminta menjadi juru bayar. Dengan peran yang baru akan tampak keaslian perilaku yang merupakan gambaran dari karakternya.
2.      Model of Scientific Reasoner (Harold Kelley, 1967, 1971)
Harrold Kelley mengajukan konsep untuk memahami penyebab perilaku seseorang dengan memandang pengamat seperti ilmuwan, disebut ilmuwan naïf. Untuk samapi pada suatu kesimpulan atribusi seseorang, diperlukan tiga informasi penting. Masing-masing informasi juga harus menggambarkan tinggi-rendahnya. Tiga informasi itu, adalah:
a.     Distinctiveness
Konsep ini merujuk pada bagaiman seorang berperilaku dalam kondisi yang berbeda-beda. Distinctivness yang tinggi terjadi apabila orang yang bersangkutan mereaksi secara khusus pada suatu peristiwa. Sedangkan distinctiveness rendah apabila seseroagn merespon sama terhadap stimulus yang berbeda.
b.     Konsistensi
Hal ini menunjuk pada pentingnya waktu sehubungan dengan suatu peristiwa. Konsistensi dikatakan tinggi apabila seseorang merespon smaa untuk stimulus yang sama pada waktu yang berbeda. Apabila responnya tidak menentu maka seseorang dikatakan konsistensinya rendah.
c.     Konsensus
Apabila oranglain tidak bereaksi sama dengan seseorang, berarti konsensusnya rendah, dan sebaliknya. Selain itu konsep tentang consensus selalu melibatkan oranglain sehubungan dengan stimulus yang sama.
            Dari ketiga informasi diatas, dapat ditentukan atribusi pada seseorang. Menurut Kelley ada 3 atribusi, yaitu:
·        Atribusi Internal, dikatakan perilaku seseorang merupakan gambaran dari karakternya bila distinctivenessnya rendah, konsensusnya rendah, dan konsistensinya tinggi.
·        Atribusi Eksternal, dikatakan demikian apabila ditandai dengan distinctiveness yang tinggi, consensus tinggi, dan konsistensinya juga tinggi.
·        Atribusi Internal-Eksternal, hal ini ditandai dengan distinctiveness yang tinggi, consensus rendah, dan konsistensi tinggi.

3.      Atribusi Keberhasilan dan Kegagalan (Weiner)
Ada dua macam dimensi pokok:
a.     Keberhasilan dan kegagalan memiliki penyebab internal atau eksternal.
b.     Stabilitas penyebab, stabil atau tidak stabil.

             Kestabilan
Locus of Ctrl
Tidak stabil
(temporer)
Stabil
(permanen)
Internal
Usaha, mood, kelelahan
Bakat, kecerdasan, karakteristik fisik
Eksternal
Nasib, ketidaksengajaan, kesempatan
Tingkat kesukaran tugas
                                                                                                                          

Tidak ada komentar:

Kursus Toefl Online Murah

About Me

Foto saya
Mahasiswa Magister Akuntansi di Universitas Mercu Buana, Karyawan di PT. Summarecon Agung, Tbk, Alumni STIE Indonesia'07, Psikologi UIN Jakarta '08,

Translator