Total Visitors

My Status

Follower

Pengertian Observasi

A. PENGERTIAN
Istilah observasi berasal dan bahasa Latin yang berarti ”melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi menjadi bagian dalam penelitian berbagai disiplin ilmu, baik ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu sosial, Observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratoriurn (experimental) maupun konteks alamiah.
Observasi yang berarti pengamatan bertujuan untuk mendapatkan data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat re-checkingin atau pembuktian terhadap informasi / keterangan yang diperoleh sebelumnya.Sebagai metode ilmiah observasi biasa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan fenomena-fenomena yang diselidiki secara sistematik. Dalam arti yang luas observasi sebenarnya tidak hanya terbatas kepada pengamatan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengamatan tidak langsung misalnya melalui questionnaire dan tes.
B. TUJUAN OBSERVASI
Pada dasarnya observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dan perspektif mereka terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus kuat, faktual, sekaligus teliti tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan.
Observasi perlu dilakukan karena beberapa alasan, yaitu:
1. Memungkinan untuk mengukur banyak perilaku yang tidak dapat diukur dengan menggunakan alat ukur psikologis yang lain (alat tes). Hal ini banyak terjadi pada anak-anak.
2. Prosedur Testing Formal seringkali tidak ditanggapi serius oleh anak-anak sebagaimana orang dewasa, sehingga sering observasi menjadi metode pengukur utama.
3. Observasi dirasakan lebih mudah daripada cara peugumpulan data yang lain. Pada anak-anak observasi menghasilkan informasi yang lebih akurat daripada orang dewasa. Sebab, orang dewasa akan memperlihatkan perilaku yang dibuat-buat bila merasa sedang diobservasi.
Tujuan observasi bagi seorang psikolog pada dasarnya adalah sebagai berikut :
1. Untuk keperluan asesmen awal dilakukan di luar ruang konseling, misalnya: ruang tunggu, halaman, kelas, ruang bermain.
2. Sebagai dasar/titik awal dari kemajuan klien. Dari beberapa kali pertemuan psikolog akan mengetahui kemajuan yang dicapai klien.
3. Bagi anak-anak, untuk mengetahui perkembangan anak-anak pada tahap tertentu.
4. Digunakan dalam memberi laporan pada orangtua, guru, dokter, dan lain-lain.
5. Sebagai informasi status anak/remaja di sekolah untuk keperluan bimbingan dan konseling.
C. TEKNIK OBSERVASI
Ada tiga jenis teknik pokok dalam observasi yang masing-masing umumnya cocok untuk keadaan-keadaan tertentu, yaitu:
1. Observasi Partisipan
Suatu observasi disebut observasi partisipan jika orang yang rnengadakan observasi (observer) turut ambil bagian dalam perikehidupan observer. Jenis teknik observasi partisipan umumnya digunakan orang untuk penelitian yang bersifat eksploratif. Untuk menyelidiki satuan-satuan sosial yang besar seperti masyarakat suku bangsa karena pengamatan partisipatif memungkinkankan peneliti dapat berkomunikasi secara akrab dan leluasa dengan observer, sehingga memungkinkan untuk bertanya secara lebih rinci dan detail terhadap hal-hal yang akan diteliti.
Beberapa persoalan pokok yang perlu mendapat perhatian yang cukup dan seorang participant observer adalah sebagai berikut:
a. Metode Observasi
Persoalan tentang metode observasi sama sekali tidak dapat dilepaskan dari scope dan tujuan penelitian yang hendak diselenggarakan. Observer perlu memusatkan perhatiannya pada apa yang sudah diterangkan dalam pedoman observasi (observation guide) dan tidak terlalu insidental dalam observasi-observasinya.
b. Waktu dan Bentuk Pencatatan
Masalah kapan dan bagaimana mengadakan pencatatan adalah masalah yang penting dalam observasi partisipan. Sudah dapat dipastikan bahwa pencatatan dengan segera terhadap kejadian-kejadian dalam situasi interaksi merupakan hal yang terbaik.
Pencatatan on the spot akan mencegah pemalsuan ingatan karena terbatasnya ingatan. Jika pencatatan on the spot tidak dapat dilakukan, sedangkan kelangsungan situasi cukup lama, maka perlu dijalankan pencatatan dengan kata-kata kunci. Akan tetapi pencatatan semacam ini pun harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak menarik perhatian dan tidak menimbulkan kecurigaan. Pencatatan dapat dilakukan, misalnya pada kertas-kertas kecil atau pada kertas apa pun yang kelihatannya tidak berarti.
d. Intensi dan Ekstensi Partisipasi
Seacara garis besar, partisipasi tidaklah sama untuk semua penelitian dengan observasi partisipan ini. Peneliti dapat mengambil partisipasi hanya pada beberapa kegiatan sosial (partial participation), dan dapat juga pada semua kegiatan(full particiration). Dan, dalam tiap kegiatan itu penyelidik dapat turut serta sedalam-dalamnya (intensive participation) atau secara minimal (surface participation). Hal ini tergantung kepada situasi.
Dalam observasi partisipan, observer berperan ganda yaitu sebagai pengamat sekaligus menjadi bagian dan yang diamati. Sedangkan dalam observasi nonpartisipan, observer hanya memerankan diri sebagai pengamat. Perhatian peneliti terfokus pada bagaimana mengamati, merekam, memotret, mempelajari, dan mencatat tingkah laku atau fenomena yang diteliti. Observasi nonpartisipan dapat bersifat tertutup, dalam arti tidak diketahui oleh subjek yang diteliti, ataupun terbuka yakni diketahui oleb subjek yang diteliti.
2. Observasi Sistematik
Observasi sistematik biasa disebut juga observasi berkerangka atau structured observation. Ciri pokok dari observasi ini adalah kerangka yang memuat faktor-faktor yang telah di atur kategorisasinya lebih dulu dan ciri-ciri khusus dari tiap-tiap faktor dalam kategori-kategori itu.
a. Materi Observasi
Isi dan luas situasi yang akan diobservasi dalarn observasi sistematik umumnya lebih terbatas. Sebagai alat untuk penelitian desicriptif, peneliti berlandaskan pada perumusan-perumusan yang lebih khusus. Wilayah atau scope observasinya sendiri dibatasi dengan tegas sesuai dengan tujuan dan penelitian, bukan situasi kehidupan masyarakat seperti pada observasi partisipan yang umumnya digunakan dalam penelitian eksploratif.
Perumusan-perurnusan masalah yang hendak diselidikipun sudah dikhususkan, misalnya hubungan antara pengikut, kerjasama dan persaingan, prestasi be1aar, dan sebagainya. Dengan begitu kebebasan untuk memilih apa yang diselidiki sangat terbatas. Ini dijadikan ciri yang membedakan observasi sistematik dan observasi partisipan.
b. Cara-Cara Pencatatan
Persoalan-persoalan yang telah dirumuskan secara teliti memungkinkan jawaban-jawaban, respons, atau reaksi yang dapat dicatat secara teliti pula. Ketelitian yang tinggi pada prosedur observasi inilah yang memberikan kemungkinan pada penyelidik untuk mengadakan “kuantifikasi” terhadap hasil-hasil penyelidikannya. Jenis-jenis gejala atau tingkah laku tertentu yang timbul dapat dihitung dan ditabulasikan. Ini nanti akan sangat memudahkan pekerjaan analisis hasil.
3. Observasi Eksperimental
Observasi dapat dilakukan dalam lingkup alamiah/natural ataupun dalam lingkup experimental. Dalam observasi alamiah observer rnengamati kejadian-kejadian, peristiwa-peristiwa dan perilaku-perilaku observe dalam lingkup natural, yaitu kejadian, peristiwa, atau perilaku murni tanpa adanya usaha untuk menguntrol.
Observasi eksperimental dipandang sebagai cara penyelidikan yang relatif murni, untuk menyeidiki pengaruh kondisi-kondisi tertentu terhadap tingkah laku manusia. Sebab faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkah laku observee telah dikontrol secermat-cermatnya, sehingga tinggal satu-dua faktor untuk diamati bagaimana pengaruhnya terhadap dimensi-dimensi tertentu terhadap tingkah laku.
Ciri-ciri penting dan observasi eksperimental adalah sebagai berikut :
• Observer dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seseragam mungkin untuk semua observee.
• Situasi dibuat sedemikian rupa, untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laku yang akan diamati oleh observee.
• Situasi dibuat sedemikian rupa, sehingga observee tidak tahu maksud yang sebenannya dan observasi.
• Observer, atau alat pencatat, membuat catatan-catatan dengan teliti mengenai cara-cara observee mengadakan aksi reaksi, bukan hanya jumlah aksi reaksi semata.




Sumber:
Rahayu, Iin Tri, S.Psi dan Ardani, Tristiadi Ardi, S.Psi, M.Si. 2004. Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia.

Belajar Sosial dan Sosialisasi

A. Konsep dasar Belajar Sosial dan Sosialisasi
Dalam kehidupan manusia, ada dua jenis belajar, yaitu belajar secara fisik dan belajar dan belajar secara psikis. Yang termasuk contoh dari belajar secara fisik adalah belajar menari, belajar bela diri, belajar mengendarai dan lain sebagainya. Sedangkan yang termasuk belajar secara psikis adalah belajar sosial (social learning), dimana seseorang mempelajari perannya dan peran orang lain dalam kontak sosial, yang kemudian orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai peran sosial yang telah dipelajarinya itu. Cara belajar sosial yang paling utama yaitu dengan cara meniru (imitation).
Meniru (imitation) dapat berupa meniru tingkah laku orang lain dari cara berjalan, berpakaian, dan sebagainya, sampai pada meniru kepribadian orang lain. Contoh kecil dari perilaku meniru adalah, saat seorang anak muda menjadi fans dari artis X, maka anak muda tersebut di setiap perilakunya selalu meniru artis X, baik dari penampilan serta bersikap. Penjelasan lebih lanjut mengenai meniru yang dipelajari dari hasil pengamatan, akan kami bahas pada bagian berikutnya.
Belajar sosial, dalam kaitannya dengan psikologi sosial sering diartikan sebagai pandangan para pakar psikologi yang menekankan perilaku, lingkungan, dan kognisi sebagai faktor kunci dalam memahami dunia sosial. Dalam belajar sosial, ditekankan pentingnya kepercayaan, persepsi dan observasi perilaku orang lain dalam menentukan apa yang kita pelajari dan bagaimana kita bertindak. Jadi, dalam teori ini, kebanyakan pembelajaran yang dilakukan oleh manusia, diperoleh melalui mengobservasi perilaku orang lain dalam konteks sosial dibanding melalui prosedur-prosedur standar pengkondisian, yang berarti dalam pembelajaran sosial, seseorang berperilaku tidak hanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan saja, tetapi aspek kognitif juga memainkan peran yang sangat penting. Banyak berbagai contoh dari meniru perilaku orang lain (imitasi) yang melibatkan aspek kognitif.
Para teoritisi belajar sosial mengatakan bahwa manusia tidak sama seperti robot yang tidak memiliki pikiran, yang tanggap secara mekanis terhadap orang lain di dalam lingkungan manusia. Namun sebaliknya, manusia berpikir, membayangkan, bernalar, merencanakan, mengharapkan, menginterpetasikan, meyakini, menilai, dan membandingkan. Jadi, ketika orang lain mencoba mengendalikan tingkah laku kita, nilai-nilai dan keyakinan kita memungkinkan kita untuk menolak kendali tersebut.
Sedangkan sosialisasi yang juga berkaitan dengan proses belajar sosial, merupakan suatu konsep umum yang bisa dimaknai sebagai sebuah proses di mana kita belajar melalui interaksi dengan orang lain, tentang cara berpikir, merasakan, dan bertindak, di mana kesemuanya itu merupakan hal-hal yang sangat penting dalam menghasilkan partisipasi sosial yang efektif. Sosialisasi merupakan proses yang terus terjadi selama hidup kita.
Baik belajar sosial maupun sosialisasi, dapat dikatakan bahwa keduanya merupakan suatu proses pembelajaran yang melibatkan orang lain, dan lingkungan sosial di luar diri individu. Yang menjadi tokoh-tokoh kunci dalam belajar sosial adalah Bandura dan Walter, serta Miller dan Dollard, yang semua pada intinya sama-sama membahas mengenai belajar sosial dalam kaitannya mengenai tingkah laku tiruan, namun ada sedikit perbedaan pandangan di antar mereka mengenai tingkah laku meniru, yang perbedaan tersebut akan kami bahas pada akhir pembahasan makalah ini.
Albert Bandura dan Walter adalah arsistek utama teori belajar sosial versi kontemporer, yang dinamakan teori belajar sosial kognitif (cognitive social learning theory) oleh Walter. Bandura yakin, bahwa kita belajar dengan mengamati apa yang dilakukan oleh orang lain. Melalui belajar mengamati (modeling atau imitasi), kita secara kognitif menghasilkan perilaku orang lain dan mungkin mengadopsi perilaku ini dalam diri kita sendiri.
Kelebihan belajar observasional telah didokumentasikan dengan baik dalam literatur antropologi (Bandura dan Wlters, 1963, bab 2; Honnidman; hal. 180). Pada salah satu kebudayaan Guatemala, misalnya anak perempuan bisa belajar menenun hanya dengan melihat contoh. Guru menunjukan cara-cara menjalankan mesin kain sementara anak perempuan mengamati. Kemudian bila anak perempuan tersebut sudah merasa siap maka ia akan mengambil alih dan biasanya ia akan menjalankan mesin dengan terampil pada percobaan pertamanya. Dalam istilah Bandura perempuan tersebut menunjukan sikap yang disebut “non-trial learning (tidak ada percobaan belajar)”, ia memperoleh tingkah lakunya secara tiba-tiba hanya melalui pengamatan. Dia tidak perlu mengalami kegagalan karena melalui proses yang membosankan seperti belajar coba-coba dan gagal.
Bila tingkah laku baru diperoleh hanya melalui pengamatan tampaknya belajar seperti itu menggunakan kognitif. Jika misalnya anak perempuan Guatemala melihat gurunya lalu kemudian meniru dengan baik tanpa ada proses latihan, berarti ia hanya tergantung pada pusat representasi tingkah laku yang dibimbing oleh penampilannya sendiri.
Observasi juga mengajarkan pada kita untuk menerima kemungkinan-kemungkinan dari konsekuensi yang akan kita dapatkan dari tingkah laku baru; kita akan memaklumi terhadap apa yang akan terjadi bila kita mencoba. Bandura menyebut proses tersebut dengan vicarious reinforcment. Vicarious reinforcement juga merupakan proses kognitif; kita merumuskan apa yang diharapkan mengenai hasil dari tingkah laku diri kita tanpa lansung melakukan hal tersebut.

1. Komponen Belajar Sosial
Terdapat empat komponen dasar dalam belajar sosial dan sosialisasi yaitu proses atensi, proses retensi, proses motor reproduksi, serta proses reinforcement dan motivasi.
a. Proses Atensi
Pertama-tama kita tidak dapat meniru suatu model jika kita kurang memperhatikan model tersebut. Model sering kali menarik perhatian kita karena bersifat unik, berhasil, bergengsi, mempunyai kelebihan atau kualitasnya menarik. Televisi pada umumnya berhasil dalam menampilkan suatu model karena mempunyai karakteristik dan dapat mempengaruhi hidup kita.
b. Proses Retensi
Sejak kita sering meniru model kadang-kadang kita mnegobservasinya tapi kita harus mempunyai beberapa cara untuk mengingat perilaku kita dalam bentuk simbol. Bandura berpendapat bahwa proses berfikir simbolik merupakan stimulus kontiguitas, yang berasosiasi dengan stimulus yang terjadi. Misalnya kita melihat seseorang menggunakan peralatan baru, katakanlah sebuah latihan. Dia menunjukan kepada kita cara mengikat tali kekang dan seterusnya. Kemudian latihan tersebut membangkitkan hal-hal yang berasosiasi dengan pembayangan dan hal itulah yang menuntun kita untuk bertingkah laku.

c. Proses Motor Reproduksi
Untuk meniru tingkah laku secara tapat seseorang harus mempunyai keterampilan motorik. Misalnya seorang anak laki-laki melihat bapaknya meggunakan gergaji tetapi ternyata ia tidak dapat meniru dengan baik karena fisiknya belum kuat dan ia belum terampil. Melalui observasi saja ia memperoleh pola baru dalam merespon (misalnya bagaimana meletakkan kayu dan dimana menempatkan gergaji) tapi ia tidak memperoleh kemampuan fisik yang baru (misalnya memotong kayu dengan tenaga). Jadi hanya pertumbuhan fisik dan latihan yang diperlukan.
d. Proses Reinforcement dan Motivasi
Bandura, seperti ahli teori belajar kognitif sebelumnya (Tolman, 1948) membedakan antara acquisition dan performance dalam merespon hal-hal yang baru. Seseorang dapat mengamati suatu model dan dengan demikian ia memperoleh pengetahuan baru tapi seseorang tidak dapat menampilkan respon. Misalnya seorang laki-laki mendengar tetangganya berkata kasar secara tidak langsung ia belajar sejumlah kata-kata baru tapi laki-laki tersebut tidak dapat menirunya.

2. Proses Pembelajaran Sosial dan Sosialisasi
Pada bagian ini, kami akan membahas proses-proses yang termasuk ke dalam belajar sosial maupun sosialisasi. Yang termasuk ke dalam proses belajar sosial menurut Robert Baron adalah pembelajaran melalui asosiasi serta pembelajaran melalui observasi. Baik pembelajaran melalui asosiasi maupun belajar melalui observasi keduanya sama-sama dapat membentuk perilaku meniru.

a. Pembelajaran Sosial berdasarkan Asosiasi
Merupakan prinsip dasar psikologi bahwa ketika sebuah stimulus berulang-ulang diikuti oleh stimulus yang lain, stimulus pertama akan segera dianggap sebagai tanda-tanda bagi stimulus yang mengikutinya. Dengan kata lain, ketika stimulus pertama terjadi, seseorang akan menduga stimulus kedua akan segera muncul. Hasilnya, secara bertahap mereka akan memberikan reaksi yang sama pada stimulus pertama seperti reaksi yang mereka tunjukkan pada stimulus kedua, terutama jika stimulus kedua adalah stimulus yang menyebabkan reaksi yang cukup kuat dan otomatis. Sebagai contoh adalah, saat seseorang pertama kali menyalakan jam alarm, yang jam alarm tersebut membunyikan bunyi “klik” sesaat sebelum alarm berbunyi. Saat pertama kali, orang tersebut tidak akan merespon apa-apa saat suara “klik” (sebelum bunyi alarm) terdengar. Namun setelah beberapa hari orang tersebut sudah terbiasa dengan suara “klik” tersebut, maka orang tersebut mungkin akan berespon atau terbangun saat hanya mendengar suara “klik” sebelum ia mendengar suara alarm berbunyi.
Contoh lain mengenai pembelajaran sosial berdasarkan asosiasi adalah saat seorang anak kecil melihat ibunya bermuka masam dan menunjukkan tanda-tanda tidak suka terhadap seorang laki-laki yang berambut gondrong. Awalnya (sebelum melihat ibunya sinis terhadap laki-laki berambut gondrong) anak tersebut bersikap netral terhadap laki-laki yang berambut gondrong, namun ketika ia berulang kali melihat ibunya menunjukkan emosi negatif atau kesinisan saat melihat laki-laki berambut gondrong, maka anak tersebut lama-kelamaan menjadi ikut tidak menyukai seorang laki-laki yang berambut gondrong, dimanapun ia berada. Ketidaksukaan anak tersebut terhadap laki-laki berambut gondrong, dapat dikatakan terjadi karena adanya clasical condisioning, akibat ia berulang kali melihat si ibu selalu sinis apabila melihat seorang laki-laki berambut gondrong, serta anak tersebut mulai belajar untuk tidak suka terhadap laki-laki berambut gondrong, seperti sikap ibunya.Dari sini terlihat perilaku meniru sikap dari seorang anak terhadap ibunya, apabila melihat seorang laki-laki berambut gondrong.

b. Belajar Sosial melalui pengamatan (melalui contoh)
Belajar melalui pengamatan merupakan proses di mana individu mempelajari respon-respon baru dengan cara mengobservasi perilaku orang lain (seorang model) daripada dari pengalaman langsung. Belajar melalui pengamatan terjadi ketika individu mempelajari bentuk tingkah laku atau pemikiran baru melalui observasi terhadap orang lain. Dalam kajian psikologi sosial, pembelajaran melalui observasi memainkan peran yang sangat penting bagi pembentukan sikap.
Belajar melalui pengamatan, seringkali dilakukan oleh seorang anak, karena seorang anak kecil seringkali meniru perilaku orang lain. Sebagai contoh, seorang anak yang melihat orangtuanya membaca buku tiap hari, maka anak tersebut dapat dipastikan akan rajin membaca buku. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa, apabila orang tua ingin mendidik anaknya untuk bertingkahlaku yang positif, maka orang tua harus bertingkahlaku positif pula.
Belajar melalui pengamatan tidak hanya dilakukan oleh anak kecil saja, tetapi juga orang dewasa. Dalam banyak hal di kehidupan sehari-hari, orang dewasa sering kali mempelajari pembelajaran melalui meniru tingkah laku orang lain. Salah satu contoh adalah, saat seseorang yang pertama kali ingin pergi ke Surabaya dengan menggunakan kereta api dari stasiun Gambir. Saat pertama kali, ia sama sekali belum mengetahui segala sesuatu yang harus dilakukan sebelum naik kereta, serta ia belum pernah masuk ke stasiun Gambir. Dalam keadaan demikian, yang dilakukan oleh orang itu adalah dengan meniru yang dilakukan orang lain yang juga ingin pergi (yang diketahuinya dengan membawa koper). Ia memperhatikan dan mengikuti orang tersebut. setelah mengikuti dan memperhatikan, ia mulai mengetahui arah loket tiket kereta, dan ia juga mengetahui bahwa untuk ke Surabaya, pembelian karcis melalui loket nomor 11. setelah membeli tiket, ia mengikuti lagi orang tersebut menuju lantai-3 untuk menunggu kedatangan kereta api, dan seterusnya.
Dari contoh tersebut, maka dapat diketahui bahwa, belajar melalui meniru, sangat diperlukan pula bagi seseorang yang pertama kali berada di suatu tempat yang baru, dengan meniru seseorang yang terbiasa datang ke tempat tersebut. tentu, selain contoh tersebut, masih banyak contoh lainnya yang berkaitan dengan perilaku belajar melalui mengamati dan meniru orang lain.

3. Pandangan Miller-Dollard dan Bandura-Walter terhadap belajar sosial dan tiruan.
Bandura& Walter, serta Miller Dollard merupakan para tokoh dalam teori belajar sosial. Pada dasarnya, mereka sepakat mengenai pengertian dasar dari belajar sosial, namun, mengenai beberapa aspek, terdapat perbedaan pandangan di antara mereka dalam memahami teori belajar sosial, terutama pada perilaku meniru atau imitasi.


Teori Belajar Sosial dan Tiruan dari Miller dan Dollard
Pandangan dasar mereka adalah tingkah laku manusia adalah dipelajari.menurut Miller dan Dollar ada empat prinsip dalam belajar, yaitu dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku-balas (response), dan ganjaran (reward).
Dorongan adalah rangsang kuat yang mendorong organism (manusia, hewan) untuk bertingkah laku. Dorongan yang bersifat biologis seperti lapar, haus, seks, kejenuhan disebut dorongan primer (primary drive) dan menjadi dasar utama untuk motivasi. Sedangkan lapar yang kemudian disosialisasikan menjadi dorongan untuk makan makanan tertentu (roti atau nasi),seks disosialisasikan menjadi hubungan suami-istri dalam perkawinan disebut dorongan sekunder.
Isyarat adalah rangsang yang menentukan bila dan dimana suatu tingkah laku-balas akan timbul dan tingkah laku balas apa yang akan terjadi. Dalam belajar sosial, isyarat yang terpenting adalah tingkah laku orang lain, baik langsung ditunjukkan kepada seseorang tertentu maupun yang tidak. Contoh uluran tangan merupakan isyarat untuk berjabatan tangan.
Menurut miller dan dollard organism mempunyai hierarki bawaan dari tingkah laku–tingkah laku (innate hierarchy of responses). Pada waktu organism pertama kalinya dihadapkan pada suatu rangsang tertentu, maka tingkah laku balas yang timbul didasarkan pada hierarki bawaan tersebut. Baru setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman, maka akan timbul tingkah laku-balas yang sesuai dengan factor-faktor penguat tersebut. Tingkah laku balas yang sudah di sesuaikan dengan factor-faktor penguat tersebut disusun menjadi hierarki resultan (resultant hierarchy of responses). Disinilah pentingnya belajar dengan cara coba dan ralat (trial and error learning). Dalam tingkah laku sosial, belajar coba dan ralat dikurangi dengan belajar tiruan dimana seorang anak tinggal meniru tingkah laku orang dewasa untuk dapat memberikan tingkah laku balas yang tepat sehingga ia tidak perlu membuang waktu untuk belajar dengan coba dan ralat.
Ganjaran menurut miller dan dollard adalah rangsang yang menetapkan apakah suatu tingkah laku balas akan diulang atau tidak dalam kesempatan lain. Ada dua macam ganjaran, yaitu ganjaran primer yang memenuhi dorongan-dorongan primer) dan ganjaran sekunder (yang memenuhi dorongan-dorongan sekunder).
Menurut miller dan dollar ada tiga mekanisme tiruan:
1. Tingkah laku sama (same behavior)
2. Tingkah laku tergantung (matched dependent behavior)
3. Tingkah laku salinan (copying)
Tingkah laku sama
Ini terjadi apabila dua orang bertingkah laku balas sama terhadap rangsang atau isyarat yang sama. Misalanya dua orang berjalan bersamaan ke arah kampus karena mereka satu tujuan/ dua orang naik kereta yang sama karena satu jurusan. Tingkah laku sama ini tidak selalu merupakan hasil tiruan.
Tingkah laku tergantung
Tingkah laku ini timbul dalam hubungan antara dua belah pihak, dimana salah satu pihak lebih unggul dari pihak lain. Dalam hal ini, pihak lain itu akan menyesuaikan tingkah lakunya (match) dan akan tergantung (dependent) kepada pihak pertama.
Tingkah laku tergantung dapat terjadi dalam empat situasi yang berbeda:
a. Tujuannya sama, tetapi tingkah laku balas berbeda. Dalam keadaan ini kalau tingkah laku orang pertama mendapat ganjaran sedangkan ornag kedua tidak, maka orang kedua akan meniru tingkah laku orang pertama.
b. Si peniru dapat ganjaran (ganjaran sekunder) dengan melihat tingkah laku orang lain.
c. Si peniru membiarkan orang yang ditiru untuk melakukan tingkah laku balas terlebih dahulu. Kalau berhasil barulah ditiru.
d. Dalam hal ganjaran terbatas (hanya untuk peniru atau yang ditiru), maka akan terjadi persaingan antar model dan peniru. Peniru akan menirukan tingkah laku model untuk mendapat ganjaran.
Tingkah laku salinan
Tingkah laku si peniru teragantung pada isyarat yang di berikan oleh model, akan tetapi si peniru juga memperhatikan tingkah laku model di masa lalu dan yang akan masa mendatang. Perkiraan tentang tingkah laku model dalam kurun waktu yang relative panjang akan dijadikan patokan oleh si peniru untuk memerbaiki tingkah lakunya sendir dimasa yang akan dating sehingga lebih sesuai dengan tingkah laku model. Miller dan dollard berpendapat bahwa konformitas sosial yang terdapat dalam setiap masyarakat disebabkan oleh tingkah laku salinan ini yang dasarnya adalah dorongan untuk menyalin (drive to copy). Dorongan iini mengandugn kecemasan akan kehilangan pengakuan dari masyarakat dan ganjaran unutk mendapat pengakuan atau pujian dari orang lain.
Teori Proses Pengganti Walters dan Bandura
Teori ini dikemukakan oleh Walters dan Bandura, mereka menyatakan bahwa tingkah laku tiruan merupakan suatu bentuk asosiasi suaru rangsang dengan rangsang lainnya. Penguat memang memperkuat tingkah laku balas, tetapi bukan syarat yang penting dalam proses belajar. Bandura dan Walters menyatakan bahwa jika seseorang melihat suatu rangsang dan ia melihat model beraksi secara tertentu terhadap rangsang itu, maka dalam khayalan orang tersebut terjadi serangkaian symbol yang menggambarkan rangsang tingkah laku balas tersebut. Disini yang penting adalah pengaruh tingkah laku model pada tingkah laku peniru yang menurut Banduran dan Walters ada tiga, yaitu:
a. Efek modeling, dimana si peniru melakukan tingkah laku baru sehingga sesuai dengan tingkah laku model.
b. Efek hambatan dan menghapus hambatan, yaitu tingkah laku-tingkah laku yang tidak sesuai dengan tingkah laku model dihambat timbulnya, sedangkan tingkah laku model dihapuskan hambatan-hambatannya sehingga timbul tingkah laku-tingkah laku yang dapat menjadi nyata.
c. Efek kemudahan, dimana tingkah laku-tingkah laku yang sudah pernah dipelajari peniru lebih mudah muncul kembali dengan mengamati tingkah laku model.
Teori proses pengganti dapat pula menerangkan gejala timbulnya emosi pada peniru sama dengan emosi yang ada pada model. Misalnya sesorang melihat film yang memperlihatkan suatu oprasi. Pasien yang dioprasi dalam film itu (model) digambarkan sedang meringis kesakitan. Maka penonton pun bisa ikut meringis kesakitan.

Pandangan Islam Tentang Belajar Sosial
Dalam pandangan Islam, konsep mengenai belajar sosial, erat sekali kaitannya dengan ajaran islam. Dalam surat al-Alaq ayat 1 disebutkan,

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
Dalam kutipan ayat tersebut, kita sebagai manusia diperintahkan oleh Tuhan untuk membaca (إقرأ), kata (إقرأ) berbentuk fi’il amar yang berarti perintah, dan pada ayat ini adalah perintah Tuhan kepada manusia. Perintah membaca disini bukan hanya membaca buku ataupun kitab Tuhan semata, tetapi (seperti banyak ditafsirkan oleh para mufasir), kita sebagai manusia diperintahkan untuk “membaca” alam raya ini beserta berbagai fenomenanya. Dalam membaca alam raya, berarti kita juga dapat “membaca” dalam kaitannya dengan kehidupan di dunia sosial. ”Membaca” dalam kaitannya dengan kehidupan sosial, bisa juga dengan belajar sosial. Dengan menerapkan konsep belajar sosial, kita dapat dengan mudah memahami orang lain serta kaitannya dengan kehidupan sosial. Dengan demikian, berarti kita telah menjalankan perintah Tuhan untuk “membaca” setiap fenomena dalam kehidupan.
Selain itu, konsep teori belajar sosial, yang berkaitan dengan modeling atau perilaku meniru juga berkaitan dengan ajaran islam mengenai Uswatun Hasanah atau suri tauladan yang baik. Disini berarti, karena manusia mempunyai kecenderungan untuk meniru orang lain, maka hendaklah kita sebagai manusia menjadi contoh atau teladan bagi orang lain, agar apabila orang lain meniru kita, orang tersebut akan meniru hal-hal yang baik dari kita. Begitu juga sebaliknya, dalam meniru atau menjadikan orang lain sebagai contoh atau model, hendaknya kita selalu memilih untuk meniru orang yang dapat dijadikan contoh atau teladan. Hal ini berarti, kita tidak boleh sembarang mencontoh orang, apalagi mencontoh kepada perbuatan jelek dari orang lain. Salah satu contoh meniru yang baik adalah, meniru cara belajar teman yang berprestasi, dan sebaliknya, contoh dari meniru yang tidak baik dan dilarang agama adalah seperti meniru cara teman yang lincah dalam hal menyontek.
Dalam ajaran Islam, seseorang yang dijadikan sebagai suri tauladan sejati adalah Nabi Muhammad Saw. Seperti pada ayat berikut.

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Jadi, sesuai ayat tersebut, kita diharapkan dapat menjadikan Nabi Muhammad Saw sebagai contoh yang baik, karena ia banyak menyebut nama Allah, serta diharapkan juga kita mencontoh segala perbuatan baik Nabi Muhammad Saw, yang telah kita ketahui dan pelajari dalam ajaran islam.

























D A F T A R P U S T A K A
.
Alqur’an
Baron, Robert&Donn Byrne. 2003. Psikologi Sosial (terj. Social Psychology, penerjemah Ratna Djuwita). Jakarta: Erlangga.
L. Freedmen Jonathan dkk. 1994. Psikologi Sosial (terj. Social Psychology, penerjemah Michael). Jakarta: Erlangga.
Nihayah, Zahrotun, Idriyani, Natris, Suralaga, Fadhila. 2006. Psikologi Perkembangan: Tinjauan Psikologi Barat dan Pikologi Islam. Jakata: UIN Press
Wade, Carol. 2008. Psikologi jilid I (terj. Psychology 9th ed, penerjemah Darma Juwono dkk). Jakarta: Erlangga
Santrock, John W. Perkembangan Masa Hidup (terj. Life Span Development). Jakarta: Erlangga
Wirawan, Sarlito. 2003. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Press
http://id.shvoong.com

Hakikat Ilmu Antropologi Psikologi

Ilmu antropologi psikologi adalah ilmu yang menjembatani kebudayaan dan kepribadian, yang menjadi fokus dari dua ilmu yang berbeda (antropologi dan psikologi), yang sebenarnya sangat erat hubungannya.
Antropologi dan psikologi adalah subdisiplin ilmu antropologi. Nama subdisiplin ilmu antropologi ini, sebenarnya nama baru dari ilmu yang dahulu dikenal dengan dengan nama Culture dan Personality (kebudayaan dan kepribadian), atau kadang juga disebut Ethno-psychology (psikologi suku bangsa). Subdisiplin ini sejak lahirnya sudah bersifat antardisiplin. Hal ini disebabkan karena bukan saja teori, konsep, serta metode penelitiannya dipinjam dai berbagai disiplin seperti antropologi, psikologi, psikiatri, dan psikoanalisa; melainkan juga para pendirinya berasal dari disiplin yang bermacam-macam, sebelum mereka menjadi ahli antropologi. Mereka itu antara lain adalah Margaret Mead (ahli antropologi), Abram Kardiner (ahli psikiatri), W.H.R. River (ahli psikologi), Erik H. Erikson (ahli psikoanalisa neo freudian), dan lain lain. Berdasarkan tokoh-tokoh yang berasal dari berbagai disiplin ilmu menunjukan bahwa di sanalah ilmu antropologi budaya dan sosial dapat berhubungan dengan ilmu psikologi kepribadian, psikologi perkembangan, ilmu psikiatri, dan psikoanalisa secara sangat akrab dan produktif.
Beberapa peneliti berusaha melakukan penelitian yang berkenaan dengan antropologi psikologi. Menurut Singer penelitian antropologi psikologi dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok permasalahan besar,yaitu:
1. Kelompok hubungan kebudayaan dengan sifat pembawaan manusia (human nature).
2. Kelompok hubungan kebudayaan dengan kepribadian khas kolektif tertentu (typical personality), dan
3. Kelompok hubungan kebudayaan dengan kepribadian individual (individual personality).
Dari ketiga kelompok permasalahan besar itu timbul beberapa pokok permasalahan penelitian lainnya, yaitu:
a. Hubungan antara perubahan kebudayaan dengan perubahan kepribadian, dan
b. Hubungan kebudayaan dengan kepribadian abnormal.

Penelitian Antropologi Psikologi di Indonesia

Penelitian antropologi psikologi di Indonesia sedikitnya dibagi menjadi dua masa, yaitu 1) sebelum perang dunia kedua, dan 2) setelah perang dunia kedua.

1. Masa Sebelum Perang Dunia Kedua
Penelitian antropologi psikologi di Indonesia, telah dimulai jauh sebelum orang di AS dan Inggris (antara 1920-1935) memulainya. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan seorang ahli antropologi Belanda bernama A.W. Niewenhuis terhadap sifat pembawaan manusia daro beberapa suku bangsa di Indonesia. Akan tetapi penelitian antropologi psikologi di Indonesia secara intensif bukanlah dilakukan oleh orang Belanda tersebut, melainkan oleh orang Amerika yang sekaligus merintis antropologi psikologi di negara mereka bahkan juga di dunia. Mereka itu adalah Cora Dubois dan Margaret Mead yang dibantu dengan Gregory Bateson. Tujuan penelitian Margaret Mead dan Gregory Bateson adalah untuk mengetahui kepribadian khas orang Bali, dengan jalan mempelajari cara pengasuhan anak di desa Bayung Gede.

2. Masa Setelah Perang Dunia Kedua
Setelah usai perang dunia kedua, topik akulturasi dan kontak sosial telah mendapat perhatian besar dari para ahli antropologi, terutama agi mereka yang mengadakan penelitian di daerah Pasifik dan Indonesia. Hampir semua kepustakaan di mengenai akulturasi di Indonesia berkesimpulan, fenomena akulturasi di Indonesia adalah juga krisis sosial. Ahli antripologi Belanda, J. Van Baal, misalnya menganggap krisis sosial karena usaha pihak Indonesia untuk menyesuaikan diri mereka dengan zaman baru. Utnuk mencapai itu orang-orang Indonesia harus mengubah dasar pandangan hidup serta dasar cara berfikir kunonya ke yang bersifat modern. Bagi J. Van Baal, proses akulturasi bukan hanya merupakan suatu proses masuknya unsur kebudayaan asing ke dalam kebudayaan pribumi semata-mata, melainkan juga merupakan suatu proses tambahan dan penyesuaian diri kembali dari cara hidup pribumi ke cara hidup modern.
Penelitian antropologi psikologi uang dilakukan ahli antropologi berkebangsaan Indonesia sendiri masih sedikit sekali, namun hasilnya cukup menarik. Dua orang ahli antropologi lulusan Universitas Indonesia misalnya, dalam rangka penulisan skripsi mereka telah mengadakan penelitian di bidang antropologi psikologi.

Gambaran Umum Kepribadian Masyarakat

Linton menyatakan bahwa kepribadian umum adalah sejumlah watak yang kadang-kadang seluruhnya dan ada kalanya hanya sebagian berada dalam jiwa dari sebagian besar warga dari suatu masyarakat. Hal itu di sebabkan karena disebabkan karena selain ditentukan oleh bakatnya sendiri, kepribadian individu juga ditentukan oleh latar belakang kebudayaan dan subkebudayaan dari lingkungan sosial di mana individu itu dibesarkan.
Para ahli antropologi menggunakan beberapa tes psikologi untuk menganalisis dan mendeskripsikan kepribadian umum warga masyarakat, tes yang mereka gunakan adalah tes Roschach dan Thematic Apperception Test (TAT). Metode lain untuk meneliti kepribadian umum warga suatu masyarakat dilakukan dengan mempelajari adat istiadat pengasuhan anak-anak dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Metode ini didasarkan pada konsepsi psikologi bahwa watak orang dewasa antara lain ditentukan oleh cara orang tersebut diasuh ketika ia masih anak-anak. Adat istiadat pengasuhan anak dalam suatu kebudayaan menyebabkan bahwa hampir semua individu dalam kebudayaan tersebut sewaktu kecilnya diasuh dengan cara yang sama. Akibatnya ialah bahwa mereka kelak mengembangkan beberapa ciri watak yang sama. Ciri-ciri watak yang sama pada sebagian besar warga dewasa dalam masyarakat itulah yang merupakan kepribadian yang bersangkutan.

Perkembangan Dewasa Akhir


BAB I
PENDAHULUAN
Usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode di mana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Bila seseorang yang sudah beranjak jauh dari periode hidupnya yang terdahulu, ia sering melihat masa lalunya, biasanya dengan penuh penyesalan, dan cenderung ingin hidup pada masa sekarang, mencoba mengabaikan masa depan sedapat mungkin.
Usia enampuluhan biasanya dipandang sebagai garis pemisah antara usia madya dan usia lanjut. Akan tetapi orang sering menyadari bahwa usia kronologis merupakan kriteria yang kurang baik dalam menandai permulaan usia lanjut karena terdapat perbedaan tertentu di antara individu-individu dalam usia pada saat mana usia lanjut mereka mulai.
Karena kondisi kehidupan dan perawatan yang lebih baik, kebanyakan pria dan wanita zaman sekarang tidak menunjukkan tanda-tanda ketuaan mental dan fisiknya sampai usia enam puluh lima, bahkan sampai awal tujuhpuluhan. Karena alasan tersebut, ada kecenderungan yang meningkat untuk menggunakan usia enam puluh lima sebagai tanda mulainya lanjut usia.
Tahap terakhir dalam rentang kehidupan sering dibagi menjadi usia lanjut dini, yang berkisar antara usia enam puluh sampai tujuh puluh dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh sampai akhir kehidupan seseorang. Orang dalam usia enampuluhan biasanya digolongkan sebagai usia tua, yang berarti sedikit lebih tua atau setelah usia madya dan usia lanjut setelah mereka mencapai usia tujuh puluh, yang menurut standar beberapa kamus berarti makin lanjut usia seseorang dalam periode hidupnya dan telah kehilangan kejayaan masa mudanya.     

BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN DEWASA AKHIR
Memasuki lanjut usia merupakan periode akhir dalam rentang kehidupan manusia di dunia ini. Banyak hal penting yang perlu diperhatikan guna mempersiapkan memasuki masa lanjut usia dengan sebaik-baiknya. Kisaran usia yang ada pada periode ini adalah enam puluh tahun ke atas. Ada beberapa orang yang sudah menginjak usia enam puluh, tetapi tidak menampakkan gejala-gejala penuaan fisik maupun mental. Oleh karena itu, usia 65 dianggap sebagai batas awal periode usia lanjut pada orang yang memiliki kondisi hidup yang baik.
Karakteristik
1.      Adanya periode penurunan atau kemunduran. Yang disebabkan oleh faktor fisik dan psikologis.
2.      Perbedaan individu dalam efek penuaan. Ada yang menganggap periode ini sebagai waktunya untuk bersantai dan ada pula yang mengaggapnya sebagai hukuman.
3.      Ada stereotip-stereotip mengenai usia lanjut. Yang menggambarkan masa tua tidaklah menyenangkan.
4.      Sikap sosial terhadap usia lanjut. Kebanyakan masyarakat menganggap orang berusia lanjut tidak begitu dibutuhkan karena energinya sudah melemah. Tetapi, ada juga masyarakat yang masih menghormati orang yang berusia lanjut terutama yang dianggap berjasa bagi masyarakat sekitar.
5.      Mempunyai status kelompok minoritas. Adanya sikap sosial yang negatif tentang usia lanjut.
6.      Adanya perubahan peran. Karena tidak dapat bersaing lagi dengan kelompok yang lebih muda.
7.      Penyesuaian diri yang buruk. Timbul karena adanya konsep diri yang negatif yang disebabkan oleh sikap sosial yang negatif.
8.      Ada keinginan untuk menjadi muda kembali. Mencari segala cara untuk memperlambat penuaan.


Tugas Perkembangan
1.      Menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik. Misalnya adanya perubahan penampilan pada wajah wanita, menggunakan kosmetik untuk menutupi tanda-tanda penuaan pada wajahnya. Pada bagian tubuh, khususnya pada kerangka tubuh, mengerasnya tulang sehingga tulang menjadi mengapur dan mudah retak atau patah.
2.      Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan keluarga.
3.      Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.
4.      Menjalin hubungan dengan orang-orang disekitarnya.
5.      Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.
6.      Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes dan harmonis.
Perkembangan Fisik
Kebanyakan perubahan fisik pada lansia mengalami hal yang sama, misalnya rambut yang memutih, kulit keriput, dan gigi yang tanggal. Pada periode ini penurunan fungsi organ tampak jelas.
Otak dan sistem syaraf
Sistem syaraf berubah dengan tanda adanya penurunan kecepatan belajar sesuatu yang diikiti dengan menurunnya kemampuan intelektual. Beberapa peneliti memperkirakan 5 sampai 10% neuron akan berhenti tumbuh sampai kita mencapai usia 70 tahun, setelah itu hilangnya neuron menjadi dipercepat. Aspek yang signifikan dari proses penuaan adalah pada neuron-neuron yang tidak mengganti dirinya sendiri yang menyebabkan hilangnya sebagian kecil kemampuan pada masa dewasa akhir.
Isi Perut
Mengalami perubahan bentuk karena berhentinya pertumbuhan khususnya ditandai dan diketahui lewat limpa, hati, alat reproduksi, jantung, paru-paru, pankreas, dan ginjal. Perubahan yang paling besar terjadi pada jantung dengan tanda bertambahnya ukuran jantung sesuai dengan bertambahnya usia dan terus tumbuh bahkan sampai setelah tubuh berhenti bekerja.


Perubahan Fungsi Fisiologis
Berkurangnya tingkat metabolisme dan menurunnya kekuatan otot-otot juga mengakibatkan pengaturan suhu badan menjadi sulit. Selain itu, pada usia lanjut terjadi penurunan dalam jumlah waktu tidur yang diperlukan dan kenyenyakan tidurnya. Orang usia lanjut pada umumnya menderita gangguan susah tidur (insomnia). Lalu, perubahan dalam pencernaan mungkin merupukan perubahan yang paling kelihatan dalam fungsi pengaturan pencernaan. Kesulitan dalam makan sebagian diakibatkan pada gigi yang tanggal yang merupakan gejala umum bagi orang usia lanjut dan juga karena daya penciman dan perasa yang menjadi kurang tajam. Sehingga menyebabkan jenis makanan yang paling lezat menjadi terasa tidak enak.
Perkembangan sensori
Perubahan sensori fisik pada masa dewasa akhir melibatkan semua indera pada manusia. Kebanyakan perubahan mulai terlihat pada dewasa madya tapi lebih terlihat jelas pada masa dewasa akhir. Pada usia lanjut fungsi seluruh organ pengindraan kurang mempunyai sensitifitas dan efisiensi kerja dibandingkan yang dimiliki oleh orang yang lebih muda. Lebih lanjut lagi, pemakaian kaca mata dan alat bantu dengar hampir secara sempurna dapat mengatasi kerusukan indera melihat atau kehilangan pendengaran.
Sistem peredaran darah
Tidak lama berselang terjadi penurunan jumlah darah yang dipompa oleh jantung dengan seiringnya pertambahan usia sekalipun pada orang dewasa yang sehat. Bagaimanapun, kita mengetahui bahwa ketika sakit jantung tidak muncul, jumlah darah yang dipompa sama tanpa mempertimbangakan usia pada masa dewasa. Kenyataannya para ahli penuaan berpendapat bahwa jantung yang sehat dapat menjadi lebih kuat selama kita menua dengan kapasitas meningkat bukan menurun (Fozard, 1992).
Meningkatnya tekanan darah yang terjadi akibat bertambah kerasnya dinding pembuluh arteri aorta dan pusat merupakan gejala umum bagi orang yang berusia lanjut.
Sistem pernafasan
Kapasitas paru-paru akan menurun pada usia 20 hingga 80 tahun sekalipun tanpa penyakit. Paru paru kehilangan elatisitasnya, dada menyusut, dan diafragma melemah. Meskipun begitu, berita baiknya adalah bahwa orang dewasa lanjut dapat memperbaiki fungsi paru paru dengan latihan-latihan memperkuat diafragma.
Seksualitas
Penuaan menyebabkan beberapa perubahan penurunan dalam hal seksualitas manusia, dan terdapat perubahan yang lebih banyak pada laki laki dari pada perempuan. Rubin (Harlock,...) mengatakan bahwa hubungan seksual tidak mungkin berhenti secara otomatis pada usia berapapun. Mereka yang tidak melakukan hubungan seksual pada usia lanjut, biasanya disebabkan oleh penyakit yang diderita pasangannya.
Kesehatan
Semakin tua, kemungkinan terkena beberapa penyakit atau penurunan kondisi tubuh semakin meningkat. Penyakit yang biasanya menyerang usia lanjut adalah radang sendi dan osteoporosis.
Perkembangan Kognitif
Fungsi Kognitif
Perdebatan tentang Penurunan Intelegensi
Isu mengenai penurunan intelektual selama tahun-tahun dewasa merupakan suatu hal yang provokatif. David Weschler (1972), yang mengembangkan skala intelegensi Weschler, menyimpulkan bahwa masa dewasa dicirikan dengan penurunan intelektual karena adanya proses penuaan yang dialami setiap orang. Namun, menurut Horn (1980) ada beberapa kemampuan yang menurun (kecerdasan yang mengalir) sementara kemampuan lainnya tidak (kecerdasan yang mengkristal)
Kecepatan Memproses, Mengingat, Dan Memecahkan Masalah
Sekarang telah diterima secara luas bahwa kecepatan memproses informasi mengalami penurunan pada masa dewasa akhir. Ada juga beberapa bukti yang menunjukkan bahwa orang-orang dewasa lanjut kurang mampu mengeluarkan kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatannya dan secara efektif menggunakan imajinasi mentalnya di dalam ingatan.
Meskipun kecepatan memproses informasi kita secara pelan-pelan menurun pada masa dewasa akhir, namun terdapat variasi individual di dalam kecakapan ini. Dan ketika penurunan itu terjadi, hal ini tidak secara jelas menunjukkan pengaruhnya terhadap kehidupan kita di dalam beberapa segi yang substansial.
Penggantian pengalaman mungkin bisa menjelaskan bagaimana orang-orang yang lebih tua mempertahankan keterampilan-keterampilan mereka pada beberapa wilayah-wilayah kognitif, diantaranya ingatan dan pemecahan masalah. Jika kita mengamati ingatan dan pemecahan masalah di dalam dunia nyata, kita mungkin menemukan sedikit penurunan pada masa dewasa akhir.
Pendidikan, Pekerjaan, dan Kesehatan
Pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan adalah tiga komponen yang paling berpengaruh dalam fungsi kognitif dari orang-orang dewasa lanjut. Pada saat ini mereka telah memperoleh pendidikan yang lebih baik. Pendidikan memiliki korelasi positif dengan skor-skor pada tes-tes intelegensi. Orang-orang dewasa lanjut mungkin melanjutkan pendidikan untuk sejumlah alasan.
Pengalaman kerja menekankan pada orientasi kognitif. Peningkatan penekanan pada proses informasi di dalam pekerjaannya mungkin mempertinggi kecakapan intelektual individu. Sedangkan, kesehatan yang buruk berkaitan dengan tes-tes intelegensi pada masa dewasa akhir. Olahraga terkait dengan perbaikan fungsi kognitif diantara orang-rang dewasa usia lanjut.
Fase Penurunan
Hipotesis fase penurunan (terminal drop hypotesis), yang menyatakan bahwa kematian didahului oleh suatu pengurangan fungsi kognitif kira-kira pada suatu periode 5 tahun pertama sebelum kematian. Jadi jarak dari kematian pada suatu populasi yang kemudian meninggal seharusnya berkorelasi dengan kemampuan pada tes-tes fungsi kognitif yang diberikan pada mereka sepanjang periode kritis 5 tahun.
Pada penelitian-penelitian yang membandingkan orang-orang dewasa lanjut dan dewasa muda yang mungkin berada pada periode 5 tahun dari kematiannya. Penyakit-penyakit kronis yang dialami orang-orang dewasa lanjut ini mungkin dapat menurunkan motivasi, kewaspadaan serta energi untuk menunjukkan kompetensi mereka ketika menjalankan tes fungsi kognitif.
Kebijaksanaan
Kebijaksanaan merupakan pengetahuan seseorang ahli mengenai aspek-aspek praktis dari kehidupan yang memungkinkan munculnya keputusan yang bermutu mengenai hal-hal yang penting dalam kehidupan. Satu aspek dari kebijaksanaan yang terlihat meningkat saat orang beranjak tua adalah ia menjadi lebih fleksibel di dalam mengubah dan mengakomodasi tujuan-tujuan hidup terhadap keadaan kehidupan yang baru dan kondisi-kondisi pribadi yang baru (Brandstadter & Renner, 1990). Orang-orang dewasa lanjut seperti halnya mereka yang lebih muda lebih cenderung mencari kepuasan dari pada mencari kesenangan yang sukar diperoleh (Dittman-Kohli,1992)
Penalaran Mekanik Dan Penalaran Pragmatis
Penalaran mekanik merupakan perangkat keras dari pikiran dan merefleksikan rancangan neurofisiologis dari otak yang berkembang secara evolutif. Pada tingkat operasional, penalaran kognitif melibatkan kecepatan dan ketepatan memproses, termasuk masukan sensoris, ingatan visual dan motorik, pembedaan, perbandingan, dan pengkategorisasian.  Karena pengaruh yang kuat dari faktor biologis, hereditas, dan kesehatan pada penalaran mekanik, maka penurunan penalaran mekanik menjadi mungkin seiring dengan proses penuaan.
Sebaliknya penalaran pragmatis (cognitive pragmatis) merujuk pada dasar kultural ”perangkat lunak” dari pikiran. Pada tingkat operasional, penalran pragmatis termasuk keterampilan membaca, menulis, berbahasa, kualifikasi pendidikan, keterampilan-ketrampilan profesional, dan juga tipe-tipe pengetahuan mengenai diri dan keterampilan-ketrampilan hidup yang membantu kita untuk menguasai dan mengatasi kehidupan.
Karena pengaruh yang kuat dari kebudayaan, terhadap penalaran pragmatis maka peningkatan penalaran pragmatis pada usia lanjut menjadi mungkin. Penalaran ini akan tetap meningkat pada usia lanjut meskipun dengan adanya penurunan pada penalaran mekanik.


Pekerjaan dan Pensiun
Pekerjaan
Pria lanjut usia biasanya lebih tertarik pada jenis pekerjaan yang statis daripada pekerjaan yang bersifat menantang,. Akibatnya, mereka lebih puas pada pekerjaannya daripada orang yang lebih muda. Beberapa orang tetap mempertahankan produktivitasnya sepanjang kehidupannya. Orang-orang dewasa lanjut ini mungkin mengikuti agenda pekerjaan yang melelahkan bagi pekerja yang lebih muda.
Pensiun
Robert Atchley (1976) menggambarkan 7 fase pensiun yaitu:
-          Fase jauh (remote). Kebanyakan individu melakukan sesuatu untuk mempersiapkan fase pensiun
-          Fase dekat (near), pekerja mulai berpartisipasi dalam program pra-pensiun
-          Fase bulan madu, mereka melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan sebelumnya dan menikmati aktivitas dengan waktu luang yang lebih banyak.
-          Fase kecewa, orang berusia lanjut menyadari bahwa bayangan pra-pensiun mereka tentang fase pensiun tidak realistis.
-          Fase reoreientasi, mulai mengembangkan alternatif kehidupan yang lebih realistis
-          Fase stabil, sudah memutuskan apa yang mereka pilih dan bagaimana menjalani pilihan tersebut.
-          Fase akhir, peran mereka sudah bergantung karena mereka sudah tidak dapat berfungsi secara mandiri.
Kesehatan Mental
Keseahtan mental tidak hanya dilihat dari ketidakhadiran gangguan-gangguan mental, berbagai kesulitan dan frustasi, tetapi juga merefleksikan kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan dengan cara efektif dan memuaskan.


Depresi
Depresi yang dimaksud adalah suatu gangguan suasana hati dimana individu merasa sangat tidak bahagia., kehilangan semangat, dan bosan. Orang yang menderita depresi seperti ini mudah kehilangan stamina, tidak merasa sehat, nafsu makan kurang, lesu, dan kurang bergairah.
Kecemasan
Gangguan kecemasan adalah gangguan psikologis yang dicirikan dengan ketegangan motorik (seperti gelisah dan gemetar), hiperaktivitas (pusing, jantung berdebar, atau berkeringat), dan pikiran yang mencemaskan. Penelitian membuktikan bahwa orang usia lanjut memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan kecemasan daripada depresi (George dkk, 1988)
Perkembangan Sosio-Emosional
Fase Akhir Erikson
Erik Erikson (1968) memandang tahun-tahun akhir kehidupan merupakan suatu masa untuk melihat kembali apa yang telah kita lakukan dengan kehidupan kita. Menurut teori perkembangan psikososial Erikson, periode dewasa akhir seharusnya telah mencapai integritasnya. Integritas disini diartikan sebagai satu tahap dimana individu yang berada pada periode dewasa akhir merasakan dan mengalami kepuasan dalam menjalani kehidupannya. Jika usia lanjut tidak dapat mencapai integritas maka akan merasakan keputusasaan, penyesalan terhadap apa yang ia perbuat atau yang tidak dapat diperbuat selama hidupnya sehingga merasa takut menghadapi kematian.
Stereotipe pada Orang Usia Lanjut
Orang berusia lanjut mungkin tidak dipekerjakan untuk pekerjaan yang baru atau dikeluarkan dari pekerjaan yang lama karena dianggap terlalu kaku. Mereka mungkin ditolak secara sosial, karena dipandang sudah pikun dan membosankan. Orang usia lanjut mungkin disingkirkan dari kehidupan keluarga karena dipandang sebagai sosok yang sakit dan parasit. Persepsi-persepsi ini memang sangat tidak berkeprimanusiaan, tetapi seringkali terjadi secara nyata dan menyakitkan.
Kepuasan Hidup
Kepuasan hidup adalah kesejahteraan psikologis secara umum atau kepuasan terhadap kehidupan secara keseluruhan. Kepuasan hidup mempengaruhi kesejahteraan psikologis pada orang dewasa lanjut. Pendapatan, kesehatan, suatu gaya hidup yang aktif, serta jaringan pertemanan dan keluarga menjadi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan hidup pada usia lanjut.
Partisipasi Sosial
Dengan makin bertambahnya usia seseorang, maka partisipasi sosialnya semakin berkurang dan cakupannya juga menyempit. Terdapat banyak alasan mengapa partisipasi seseorang dalam kegiatan sosial menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Alasan kesehatan menurun, yang secara umum biasa digunakan alasan pokok.   
Kerawanan Sosial (social hazard)
Ada beberapa kerawanan yang khas pada usia lanjut yaitu :
·         Menerima adanya stereotipe tentang usia lanjut yang diberikan masyarakat. Hal ini membuat para orang usia lanjut merasa inferior.
·         Perasaan tak berdaya dan inferior yang disebabkan oleh perubahan fisik dan penurunan daya tarik maupun karena perasaan ditolak oleh masyarakat.
·         Tidak mau melepaskan atau mengganti gaya hidup yang lama.
·         Menyadari bahwa mereka mulai menjadi pelupa, sulit mempelajari hal-hal baru lalu menarik diri dari aktifitas-aktifitas yang bersifat kompetitif.
·         Perasaan bersalah karena tidak menyumbangkan tenaga lagi bagi masyarakat.
·         Pendapatan yang berkurang mengurangi kesempatan untuk kegiatan-kegiatan diwaktu luang.
·         Kurangnya kontak sosial karena kesehatan yang tidak memungkinkan atau keadaan finansial yang terbatas.   
PERSPEKTIF ISLAM
Fase lanjut usia yang dalam islam disebut arzal al-‘umr atau disebut juga syuyukh, yang berarti fase ketika melewati masa puncak kekuatan fisik lalu menurun kembali menjadi tidak berdaya. Pada fase ini pula ditandai dengan menurunnya kemampuan memori sehingga tak mampu lagi mengingat secara baik berbagai informasi yang ernah diperoleh dan disimpan sebelumnya.
Tugas perkembangan menurut pandangan Islam:
1.      Terinternalisasi sifat-sifat rasul yang agung, sebab Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul ketika usianya menginjak 40 tahun. Sifat-sifat yang dimaksud seperti jujur, dapat dipercaya, menyampaikan kebenaran, dan memiliki kecerdasan spiritual.
2.      Meningkatkan kesadaran akan peran sosial dengan niatan amal salih.
3.      Meningkatkan ketakwaan dan kedekatan kepada Allah SWT, melalui perluasan diri dengan mengamalkan ibadah-ibadah sunnah.
4.      Mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi kematian.
Pada fase ini, seseorang terkadang tidak mampu mengaktualisasikan potensinya, bahkan kesadarannya menurun atau bahkan menghilang. Kondisi ini disebabkan oleh menuanya syaraf-syaraf dan organ-organ tubuh lainnya, sehingga terjadilah kepikunan (al-haram).ketika orang berusia lanjut mengalami kepikunan maka ia terbebas dari tuntutan agama seperti shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lain.
















BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan
Ada pebedaan perubahan individual yang menonjol sebagai akibat dari usia lanjut, dengan penuaan yang bersifat fisik mendahului penuaan psikologis yang merupakan kejadian yang bersifat umum. Perubahan fisik termasuk perubahan dalam penampilan, perubahan yang berada pada sistem organ dalam, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan pada sistem syaraf,  perubahan penampilan, dan kemampuan seksual. Perubahan yang bersifat sangat umum terhadap kemampuan motorik, termasuk perubahan kekuatan fisik dan kecepatan dalam bergerak, bertambahnya waktu yang diperlukan untuk belajar keterampilan, konsep dan prinsip baru, dan ada kecenderungan sikapnya canggung dan kikuk. Sementara itu banyak hal- hal yang menyebabkan perubahan kemampuan mental, kurangnya rangsangan lingkungan dan kurang motivasi terhadap kesadaran mental yang ada untuk membedakan kondisi yang paling bersifat umum dan paling serius.


DAFTAR PUSTAKA

Santrock, John W., 1995, Life-Span Development, Jakarta: Erlangga.
Hurlock, Elizabeth B., 1980, A Life-Span Approach, Jakarta: Erlangga
Zahrotun. Suralaga, Fadhilah. Idriyani, Natris. 2006. Psikologi Perkembangan Tinjauan Psikologi Barat dan Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press
 

Prof. Dr. Zakiah Daradjat

Iseng-iseng kepikiran dengan sosok dosen gue mata kuliah kesehatan mental yang bernama Zakiah Daradjat, masalahnya beliau ini masih memiliki semangat mengajar yang tinggi di saat usianya tidak lagi muda. Mau tahu lebih dalam ah, gue baca bukunya yang berjudul  Kesehatan Mental gk ada biografi penilisnya, ya sudah deh browsing lewat mbah google. Ini loh hasilnya yang menurut gue sebagai biografi si Ibu.

Pandai, dengan nilai rata-rata 9, matematika malah 9,5, kemauan belajar Zakiah keras. Tiba di Yogyakarta setamat SMA, 1951, ia mendaftar di dua perguruan sekaligus. Keduanya lulus tes, baik di Fakultas Tarbiyah, Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), maupun di Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (FH UII). Keduanya ia masuki.
Saat duduk di tingkat III, Zakiah pulang ke desa kelahirannya, Koto Merapak, Bukittinggi, Sumatera Barat. Mendengar ia memborong dua perguruan sekaligus, bekas guru SMP- nya menasihatinya agar memilih satu saja. ”Kamu jangan terlalu memaksa belajar, nanti sakit,” kata ibunya. Dosennya di PTAIN juga pernah mengatakan: kuliah bersamaan di dua tempat itu susah. Akhirnya, si sulung bersaudara 10 itu menurut.

Di tingkat IV Fakultas Tarbiyah, Kiah — demikian panggilan akrabnya — ditawari meneruskan ke Universitas Ein Shams, Kairo, Mesir. Merasa bingung, ia menyurati orangtuanya. Jawaban Haji Daradjat dan Hajjah Rafiah singkat saja, ”Pergilah. Kami tahu kau bisa menjaga diri.”. Delapan setengah tahun (1956-1964) di Mesir, Zakiah belajar ilmu pendidikan dengan spesialisasi psikoterapi, sampai meraih gelar doktor. Pulang kampung, ia langsung bekerja pada Departemen Agama. Sampai Maret 1984, Zakiah Daradjat menjabat Direktur Pembinaan Agama Islam. Ia satu-satunya wanita anggota DPA.Di samping itu, sudah 20 tahun lebih Zakiah membuka praktek konsultasi psikologi di rumah kediamannya. Rata-rata ia menerima lima pasien setiap petang, terdiri dari kaum ibu, bapak, dan remaja. ”Tidak saya pungut bayaran. Kalau mereka memberi, saya terima,” ujarnya.

Tetapi, wanita berkulit kuning ini lebih dikenal sebagai penceramah. Pada 1960-an, ia bisa berceramah lima atau enam kali sehari. Sering tampil di RRI dan TVRI, Zakiah tiap hari, kecuali Ahad, memberikan kuliah subuh di Radio Elshinta, Jakarta. Di IAIN Jakarta dan Yogyakarta, Zakiah masing-masing menjadi guru besar dan memimpin Fakultas Pasca-Sarjana. Cukup sibuk. ”Tapi saya melakukannya dengan senang,” katanya.

Pendidik terkenal itu risau akan kehidupan remaja sekarang, khususnya tentang kasus kumpul kebo. ”Saya kecewa sekali,” ujarnya. Ia mengaitkan kenakalan remaja dengan kurangnya pengawasan orangtua, terutama ibu. Menurut dia, idealnya seorang ibu berada di rumah 3w5 jam sehari. Kurang dari itu berbahaya, katanya.

Sejak 1969, Zakiah menulis puluhan buku. Antara lain, Kesehatan Mental (Gunung Agung, 1969), Ilmu Jiwa Agama, dan Problema Remaja Indonesia (Bulan Bintang, 1970 dan 1974).

Ia pernah berceramah di 10 tempat secara berantai, dan terkejut melihat sejumlah orang yang selalu hadir mengikutinya. ”Mereka mengatakan ingin selalu dekat saya,” katanya. ”Mereka kebanyakan ibu-ibu.”

Penggemar renang yang kini hanya melakukan jogging dan orhiba ini masih memilih hidup sendiri
Nama : ZAKIAH DARADJAT
Lahir : Bukittinggi, Sumatera Barat, 6 November 1929
Agama :Islam
Pendidikan :
-Standard School Muhammadiyah, Bukittinggi (1944)
-Kuliyatul Mubalighat, Padangpanjang (1947)
-SMA, Bukittinggi (1951)
-Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri di Yogyakarta (1955)
-Universitas Ein Shams, Kairo, Mesir (doktor, 1964)
-Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi Departemen Agama, Jakarta (1976)

Karir :
-Pegawai Biro Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama (1964-1967)
-Kepala Dinas Penelitian dan Kurikulum pada Direktorat Perguruan Tinggi Agama (1967-1972)
-Direktur Pendidikan Agama (1972-1974)
-Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam (1977-1984)
-Anggota DPA-RI (1983-198
-Guru Besar IAIN Jakarta (1984-sekarang).

Kegiatan Lain :
-Pimpinan Lembaga Pendidikan Kesehatan Jiwa Universitas Islam Jakarta (1970-1984)
-Ketua Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Ruhama (1984-sekarang)
-Pimpinan Pendidikan Kesehatan Mental YPI Ruhama (1984- sekarang)

Karya :
-Kesehatan Mental, Gunung Agung, 1969
-Ilmu Jiwa Agama, dan Problem Remaja Indonesia, Bulan Bintang, (1970 dan 1974)

Alamat Rumah :
Jalan Fatmawati 6, Kompleks Wisma Sejahtera, Jakarta Selatan Telp: 763937

Alamat Kantor :
IAIN Jakarta, Jalan Ciputat, Jakarta Selatan Telp 741925

Sumber PDAT Tempo
Prof.Dr. Zakiah Darajat:

Peran Televisi Sebagai Pendidik Harus Dihidupkan Terus
Kapanlagi.com - Acara televisi yang merusak moral masyarakat dan tidak sesuai dengan nilai agama harus dipertimbangkan lagi oleh para pihak penyedia siaran, kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang anak dan keluarga, Prof.Dr. Zakiah Darajat.

“Acara siaran televisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama maupun etika moral masyarakat seharusnya dipertimbangkan lagi oleh para pemilik siaran tersebut, apakah layak atau tidak untuk disiarkan di depan publik,” tegasnya di Jakarta, Rabu.
Ustadzah yang juga psikolog itu mengkhawatirkan akibat buruk dari siaran-siaran yang mengandung unsur kekerasan, seks, dan klenik. Apalagi, siaran tersebut hadir di ruang privat rumah setiap warga yang memiliki televisi, seperti di ruang keluarga dan ruang tidur.
“Penayangan acara mistis yang bisa menumpulkan akal dan logika penonton, ditinjau dari segi agama adalah suatu kesalahan besar,”katanya.
Ia menjelaskan, secara psikologis acara siaran televisi mempunyai pengaruh yang kuat dalam waktu yang lama kepada pikiran penontonnya. Indera pertama yang memiliki pengaruh terkuat pada pikiran adalah penglihatan, kemudian yang kedua adalah pendengaran, dan selanjutnya adalah indera perasa.
Acara televisi yang melibatkan indera penglihatan dan pendengaran penontonnya, menurut dia, memiliki pengaruh yang lebih kuat kepada pikiran penonton dibanding pengaruh media lain.
Zakiah hadir pada rapat dengar pendapat umum antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di gedung DPR, Senayan pada akhir Juni 2004. Saat itu, ia datang mewakili kalangan ulama untuk memberikan pendapat tentang acara siaran televisi.
Ia juga meminta agar para pemilik organisasi televisi tidak hanya mementingkan aspek komersial seperti penayangan iklan yang tidak mendidik, tetapi juga memikirkan peran mencerdaskan masyarakat yang harus dijalankannya.
Selama ini, menurut dia, acara televisi telah berhasil menyediakan informasi dan mendidik masyarakat, tetapi jangan sampai keberhasilan itu dilukai sendiri oleh para insan pertelevisian yang menayangkan acara yang dapat merusak moral.
“Peran televisi sebagai pendidik harus dihidupkan terus, seharusnya televisi bisa menayangkan acara yang dapat membuka wawasan dan menumbuhkan semangat kreativitas, bekerja dan taat beribadah sebagai ganti dari acara yang merusak moral itu,” demikian Zakiah. (*/erl)
http://bundokanduang.wordpress.com/2008/04/18/zakiah-daradjat/
Sudah cukup deh penjelasannya tentang si Ibu ini, ni dia picture yang gue juga dapet, abis mau jepret langsung takut dimarahin...hehe

seperti itulah gaya bu Zakiah dalam mengajar, penampilan yang sederhana, dengan menggunakan kain untuk dijadikan sebagai pakaian bawahnya. Salut deh untuk Ibu Prof. Dr. Zakiah Daradjat.
Category: 4 komentar

Kursus Toefl Online Murah

About Me

Foto saya
Mahasiswa Magister Akuntansi di Universitas Mercu Buana, Karyawan di PT. Summarecon Agung, Tbk, Alumni STIE Indonesia'07, Psikologi UIN Jakarta '08,

Translator